Minggu, 09 Desember 2012

Veni Ari Jayanti, Darah Tulungagung untuk Indonesia

by Dimas Prakoso on Sunday, December 9, 2012 at 12:39am ·

Jakartamasih belum tidur hingga pergantian hari beberapa menit lalu. saya masih bisa melihat dengan sangat jelas geliat kehidupan kota ini. ketika satu sesi mulai merengkunh selimut, bersantai di pulau kasur dan bercengkerama dengan mimpi.. sebagian lain justru baru memulai kehidupan tersebut. inilah jakarta.. saya bisa dengan sangat mudah menemukan geiat tersebut disini. dari lantai 11 hotel tempat menginap malam ini. setelah sebelumnya sedikit mengasingkan diri ke depok guna mengikuti IndoICC2012.



seperti layaknya kehidupan.. kita juga harus selalu membantu kehidupan tersebut. menyuarakan dan membagi apa yangkita bisa dan kita punya untuk mereka kaum marginal. jika sepertinya istilah marginal terlalu ekstrem maka yang lebih cocok adalah mereka yang tidak punya terlalu banyak akses terhadap sumber ilmu. kalo boleh saya ingin mengutip kalimat Profesor Merlyna Lim, ' kita sangat beruntung ketika memiliki akses terhadap endidikan dan sumberilmu, maka gunakanlah untuk menyuarakan mereka yang tersisihkan." menyarakan bukan hanya diartikan dengan speak up louder dan berorasi, namun lebih dari itu. speak up bisa diartikan memberikan apa yang kita miliki untuk kehidupan ini.



dialah Veni Ari Jayanti, sosok yang biasa saja namun memiliki world class capability with excelence local understanding. why? dia adalah satu dari beberapa sosok pengajar muda angkatan ketiga. dia telah menyelesaikan masa tugasnya untuk mengajar anak anak desa tertinggal di bengkalis. cewek lulusan Comdept Universtas Indonesia ini siaa sangka memiliki story behind yang renyah untuk diikuti. sebuah fakta yang sangat mencengangkan ketika saya secara tidak sengaja menguak fakta, dialah anak Tulungagung. sosok Tulungagung yang bisa menyuarakan semangat pembaruan dan pemerataan pendidikan sebagai menifestasi masa depan.



Veni terlahir di kalimantan, namun bisinis orang tuanya harus colaps disana akibat tertipu oleh orang lain. sehingga dia dan keluarga memutuskan untuk pulang ke kampung halaman yakni Tulungagung. beberapa saat tinggal di Tulungagung Veni melanjutkan hidup dengan belajar di SMPN 1 Tulungagung. bukan masalah predikat sekolah tersebut namun cerita dibalik itu semua yang ingin saya angkat disini. senyampang Veni melanjutkan hidupnya di Tulungagung, sang ibu nekad merantau ke Bandung dan Jakarta guna memulai usaha baru. sang ibu menilai jika Tulungagung tidak terlalu ramah dan bukan tempat mereka tanpa jejaraing bisnis yang kuat. terutama bagi mereka yang lama merantau dan meningglkan keluarga di kampung halaman. selain itu ibunda Veni juga menilai jika anaknya tidak akan bisa berkembang secara maksimal jika terus berada di Tulunagung. kulturlah yang akan membentuk batasan tersebut.



maka dari itu Veni kemudian melanjutkan hidupnya di ibukota. dengan gigih dia berjuang menembus kampus paling egaliter Universitas Indonesia. berbagai hal dialakukan sehingga tidak pernah mengeluarkan uang untuk membiayai studynya. dia kemudian mlamar menjadi salah satu engajar muda dengan harapan ingin membantu sesama.



betapa terperanjatnya Veni ketika kultur masih sangat kuat menjerat masyarakat Tulungagung. terutama mereka yang tinggal di daerah jika tidakmau disebut desa. saya bercerita banyak hal pada Veni, terutama masalah gender yang ada disana, dimana sosok perempuan akan sangat sulit break the boundaries untuk bisa keluar dengan selamat guna menuntut ilmu. karena yang adalah adalah akan menikah muda. bahkan masih adanya pemikiran bahwa edukasi bagi perempuan tidaklah penting. Saya juga bercerita tentang keironisan lain. rumah sebesar istana namun hampa. hampa oleh pendidikan. sangat sedikit sekali yang bisa menyadari arti penting dari pendidikan. pun ada tidak semua dari mereka yang terbentur masalah ini itu mulai dari biaya, kesempatan hingga gender.



diskusi kami kemarin malam saat Dinner 2nd Bienale Indonesia International Conference on Communication adalah berujung pada satu kesimpulan dimana Veni menyadari, dia hidup ditempat yang sangat settle. aau lebih tepatnya sisi ena dari Tulungagung. semua itu juga dialami oleh mereka yang hidup dengan akses terhadap sumber ilmu namun sedikit sekali memberi makan hati mereka.sehingga banyak seklai orang yang senantiasa yang menghamba pada uang namun tidak mempedulikan bahkan menginjak orang lain. setidaknya Pendidikan bisa menjadi sebuah investasi untuk hal ini. lewat Pendidikanlah seseorang bisa mengubah hidp dan lingkungan sekitarnya. Pendidikan bukan saja mengajarkan 1+1 yang jawabannya pasti 2 namun lebih darii itu.pendidikan mengajarkan seseorang tentang mimpi, bagaimana untuk bangun, bangkit dan meraihnya.



Diskusi itu jujur membuat saya bersyukur atas apa yang saya miliki dan saya raih. paling tidak saya memiliki akses terhadap hal bernama pendidkan. saya menjadi sadar pentingnya kita berbuat sesuatu untuk bangsa ini dengan tindakan sekecil apapun. lebih baik kita bertindak kecil namun benar benar merealisasikannya daripada berangan angan besar namn hanya sebatas angan. so guys lakukan semua dengan caramu sendiri. mari kita mulai semuanya dari hati dan mengakhirinya dengan hati pula. Tulungagung telah mulai membuka suara di kancah nasional, gimana dengan kita, haruskan kita tetap menutup diri? haruskah kita biarkan generasi berikutnya untuk tetap berada kegalauan. jika demikian adilkah apa yang kita miliki dengan mereka? setiap orang juga butuh untuk hidup dan memberi kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar