Senin, 17 Maret 2014

Saradan... sebuah memoar

pukul 23.32 malam, namun mata ini serasa enggan untuk terpejam. aku tak tahu mengapa? mungkin fisik ini sudah ter set up untuk memulai perjalanan pada hampir tengah malam selama kurang lebih 7 bulan ini. sehingga secara otomatis badan ini menyesuaikan diri. namun apakah benar itu alasannya? pasalnya hari ini adalah anomali. aku tiba di kota monarki dalam sebuah republik ini bahkan sebelum adzan magrib berkumandang. yah anggap saja aku terlalu lama tidur di dalam bus tadi siang.

jika selama 7 bulan terakhir aku hanya melihat deretan bangunan nan membisu ditemani temaram lampu kota, sesekali sorot kendaraan yang menyilaukan atau lengkingan klakson. namun hari ini aku melihat suasana berbeda. aku melihat kehidupan. pastilah, karena perjalanan siang sungguh berbeda. sangat terlihat geliat kehidupan di sepanjang rute surabaya - jogja hari ini. termasukdi wilayah saradan.

hmmm saradan? sebuah lokasi yang identik dengan simpul kemacetan panjang tiap liburan, kawasan ditengah hutan jati perhutani, dan sebagainya.. apa uniknya wilayah itu? lantas apa pula urgensi samapai aku harus susah payah nulis ditengah malam seperti ini? sepertinya itu pertanyaan yang mungkin muncul dibenak anda semua ketika membaca celotehan ini. anggapan tersebut tentu tidaklah salah. meskipun pulau jawa ini sering disebut sebagai kota yang tak pernah teputus oleh mereka dari luar indonesia, namun kawasan itu tidak terlalu banyak perubahan.

siang ini aku melintas kembali disana. bukan sesuatu yang wow pastinya ketika aku melintas disana. karena setiap minggu pun aku melewatinya. yang membedakan biasanya aku hanya melihat asrama yang diam membisu dengan gurat memoar masa lalu didalamnya yang seolah enggan untuk lekang. kenangan tetap tersimpan dan terjaga meskipun sang waktu telah mengikisnya. sama seperti bagaimana bangunan disana mulai usang dimakan waktu ditambah dengan hilangnya kepekaan. atau aku melihat kokohnya kantor salah satu instansi militer yang berdiri pongah disana. siatuasi yang berbeda ketika aku bisa melihatnya disiang hari. sisi sisi humanis dalam diriku menyeruak begitu saja. aku lepaskan diriku kedalam imagi masa lalu. melihat dan merasakan serta menelaah bahwa dari kawasan hutan jati itulah aku pernah menghabiskan masa kecil. sesuatu yang mungkin orang orang dari kehidupanku hari ini akan menyangkanya.

aku menghabiskan masa kecil di asrama barak saradan. atau yang biasa disebut dengan istilah mbarak, tangsen ( sebuah istilah jaman kolonial untuk merefers tempat tinggal tentara, sic) oleh masyarakat sekitar, dan banyak sebutan lain. asrama itu adalah tempat tinggal atau bahasa menterengnya rumah dinas yang dipinjamkan negara bapak ( kakek yang aku sebut dengan bapak) dan teman temannya. sebuah kebetulan saja, karena bapak adalah PNS untuk sebuah instansi militer yang aku sebut diatas.

tadi siang aku bisa merasakan bagaimana disini, ditengah hutan ini, aku merasakan suasana persahabatan kental dari setiap bagiannya. aku masih bisa merasakan aura permainan bersama teman teman, jajan es secara sembunyi sembunyi, bermain bersama kakak2ku, dan sebaginya. masih ku ingat pula bagaimana aku sangat rajin 'nyekar' pada burung nuri kesayangan si dimas kecil yang terkubur di depan rumah. disini, kami semua tidak mengenal mall, kami tidak kenal 21, XXI, kami juga tidak mengenal cafe, restoran, dan sebagainya. kami hanya mengenal hutan, ladang, dan pasar. serta lalu lalangnya bus.

bagiku saradan itu seperti sebuah inkubator. aku belajar tentang makna kebersamaan. makna itu aku pelajari dari para tetangga. meskipun gesekan pasti ada, namun bagiku, ada terlau banyak orang baik disana. seperti bu pardi yang sudah menganggapku seperti anak, mak engki yang tanggap memberi pertolongan ketika aku mengalami kecelakaan atas ulahku sendiri ( kebentur daun jendelan di salah satu rumah dengan arsitektur kolonial), hal ini membuatku takut pulang ke rumah, terus ada lagi orang seperti bu trimo, mami, dan sebagainya. kenakalanku juga ada disana. aku pernah harus mendapat jahitan di dekat mata akibat terkena lemparan batu nyasar yang dilakukan adek temenku ( sekarang dia sedang berdinas di perbatasan manado). tidak hanya itu, disinilah insting naluri belajarku tumbuh. betapa tidak, di usia 3 tahun, aku sudah 'kabur' dari rumah untuk pergi ke sekolah sendirian. pasalnya aku engen sekali bisa sekolah. kenangan lain yang muncul adalah ketika setiap sore kami ngaji bareng. seelum ngaji, kami sering main kerumah mbak ika. dan pulangnya kami selalu berjalan bersama sambil bercerita tentang tempat tempat angker di dekat tempat tinggal. cerita itu selalu berujung pada lariiiiiiii pulang. disini aku juga ingat bagaimana mbak nining menjadi semacam kakak baru bagiku. selain ada juga mas dian, dan mbak mimik yang selalu menjagaku juga.

tak jauh dari asrama itu, ada TK dan SD tempat dimana aku pernah menempuh pendidikan. aku memang menyelesaikan TK disana, namun hanya satu tahun menyelesaikan SD. karena bapak harus ensiun dan pulang ke tulungagung. sejumlah nama masih aku ingat, namun keberadaan mereka seolah hilang, musnah dan lenyap. mungkin saja mereka ada disekitarku, mungkin saja tidak. aku masih ingat betul nama beberapa temanku seperti yayan, dani, bambang, alan dan sebagainya. jujur ingin sekali bisa bertemu kalian lagi. sekedar pengen tahu saja dimana kalian sekarang.
ada satu hal yang sebenernya ingin aku lakukan, datang ke sekolah sdku dulu dan bertemu dengan guru kelasku. namun sayangnya, terakhir aku mendapat info kalau beliau sudah berpulang. yah mau bagaimana lagi.

bagiku, saradan adalah sebuah tempat penuh kenangan. disana aku belajar tentang kesederhanaan, dan keterbatasan. aku juga belajar tentang kerja keras disana. dibalik kemirisan tempat itu, harus diakui, bahwa saradan telah berhasil membentuk keluara besarku. saradan telah menunjukkan pada kami betapa impian harus terwujud meskipun secara logika waras itu sulit. saradan bukan saja menempatkan fondasi pada diriku, namun juga pada keluarga besarku. bahkan aku belumlah apa apa jika dibandingkan dengan anggota keluargaku yang lain.

pakdeku misalnya Letkol Inf Eko Prayitno, dia mengalami fase yang jauh lebih berat ketika di saradan. perjuangan demi meraih sebuah mimpi. keinginan untuk mewujudkannya dan mengubah nasib membuatnya terus maju, berjuang hingga menjadi seperti saat ini. beliau harus mengalami 3x gagal guna meraih asanya. disini terlihat bagaimana proses itu terjadi. orang sukses bukan hanya dilihat dari pencapaiannya kini, namun berapa sering dia jatuh namun bisa mencoba bangun kembali. 3x gagal akmil belum cukup, berbagai tudingan sarkas juga sering diarahkan pada mimpinya. namun dia tidak bergeming, terus maju. hanya keyakinan yang bisa menuntun beliau menjadi seperti saat ini. banyak pencapaian yang telah didapat baik dari dalam maupun luar negeri. namun yang lebih lagi adalah pengakuan masyarakat atas kontribusinya. beberapa hari lalu di kampus aku bertemu dengan adek kelas. dia berasal dari lokasi yang pernah dipimpin oleh beliau. dan yang terjadi adalah, dia bercerita banyak tentang upaya yang telah dilakukan. sebuah pengakuan dari masyarakat.

bukan hanya pakdeku, namun juga ibuku Dra. Suparti. beliau adalah sosok pembelajar sepanjang masa. beliau terus berusaha keras untuk belajar sesuatu hal yang baru. kebiasaan membacanya sungguh luar biasa. tidak hanya itu, beliau juga suka berdiskusi. aku rasa dua hal inilah yang menurun padaku. hampir sama dengan pakde, ibuku juga sosok yang tangguh dalam memperjuangkan asanya untuk bisa menjadi guru. di usia yang masih cukup muda, beliau sudah keluar dari rumah untuk belajar di kota lain, menempuh pendidikan guru setara sma disana. setelah lulus, kehausan akan ilmu yang beliau miliki terus memacunya. hal ini pula yang membawanya ke ibukota provinsi, surabaya. sebagai seorang wanita, menempuh pendidikan tinggi kala itu pasti banyak tantangannya. terutama hal hal berbau gender. diakui atau tidak, itu beliau alami juga. ada sejumlah orang yang merasa bahwa anak perempuan dalam satu keluarga tidak perlu meraih pendidikan yang terlalu tinggi, karena menganggap jenjang pendidikan profesi guru setara sma saat itu sudah cukup tinggi. namun ibuku terus berusaha semaksimal mungkin agar terus bisa belajar dan sekolah hingga beliau menjadi guru. perjuangan beliau berbuah manis ketika dikukuhkan sebagai guru teladan tingkat kota surabaya beberapa tahun lalu. tidak hanya itu, tahun lalu beliau dikukuhkan sebagai master teacher provinsi jawa timur.

apa yang aku alami di saradan cukup untuk menancapkan kaki ini tetap berada ditanah, meskipun badanya mengelana kemana mana. apa yang mereka berdua lakukan dalam meraih mimpi cukup menjadi motivasi buatku. jika dibandingkan beliau, aku merasa apa yang telah kucapai bukanlah apa apa. aku masih jauh jika dibanding beliau. kegigihan mereka dalam berusaha semakin mengobarkan api semangatku untuk terus berjuang. sekarang aku mungkin ada di jogja dan surabaya, namun mungkin saja aku akan terdampar di swisburne univ, atau flinders? atau melbourne, atau justru ke copenhagen di denmark? atau frankfurt schoolen di jerman? westminster? birmingham? amsterdam? atau justru menyusul jejak pakdeku yang penah kursus ke amerika.. mungkin saja aku akan terdampar untuk belajar d ohio? UCLA? columbia univ? northern illinois? atau jangan jangan MIT atau harvard? who knows? but He knows. keberadaanku beberapa tahun lagi memang tidak ada yang tahu termasuk diriku, namun satu yang aku tahu BERJUANG. setdaknya itulah yang bisa aku petik. karena keberhasilan itu adalah representasi dari proses yang terkristalkan. jatuh bangun adalah hal biasa, karena yang lebih penting adalah bukan jatuhnya,tapi bagaimana kita cepat bangun.



*dedicated buat seluruh anak daerah yang sedang berusaha meraih mimpinya
**semangat buat generasi ketiga keluarga besar ini kondisi kita sudah lebih baik namun tetap harus berusaha semaksimal mungkin. hug Kristalia Sandra ( yang sedang merajut impian) , Andika Perkasa (the youngest aero athlete) , Bimo Satriyo ( calon dokter hewan)