Selasa, 17 September 2013

Vickinisasi… kerinduan akan cendekia…

Haloooooowww siapa sih yang ga kenal nama Vicky prasetyo? Kenal kan kenal dong bener kan bener dong??? Hayoooo yang ga tahu kemana ajah buuuu???? Nama orang satu ini sontak menjadi headline diberbagai media beberapa waktu terakhir. Eh sebelum nya aku mau cerita dikit … buat yang belum tahu, itu lho si Vicky mantan tunangannya Zaskia Gotik… piye dab… wis do eling po? He rek lek ga eling yow is takono bolo bolomu.. hehehehe…
Sosok satu ini langsung membuat semua mata tertuju padanya. Kenapa? Karena pada salah satu acara tepatnya saat pertunangan dengan Zaskia, dia melontarkan banyak sekali kalimat alien.. haduuuuhhhh pake UFO juga dong… halah. Hahahaha.. Vicky terkenal dengan berbagai kalimat sok inteleknya dang a banget. Sebut saja 29 my age… statusisasi… kudeta kemakmuran dan labil ekonomi… selintas pilihan katanya menunjukkan seolah pintar. Tapi benarkah demikian?
Kalimat yang dilontarkan Vicky ini dari segi struktur kebahasaan sangat ga banget. Dia menempatkan kata tidak pada porsinya. Sehingga menimbulkan kebingungan tersendiri. Dalam salah satu teori komunikasi, sebuah komunikasi itu bisa berjalan ketika ada transmitter dan receiver. Ketika pesan yang disampaikan itu positif maka akan dapat ditangkap oleh komunikannya, namun ketika pesan tersebut negative maka tidak akan bisa ditangkap. Situasi ini dapat dikatakan sebagai kebingungan dalam menangkap pesan akibat terjadi bias, penafsiran ganda dan sebagainya. Nah kalimat si Vicky itu bisa menimbulkan hal tersebut. Pemaknaan yang salah dapat menimbulkan salah persepsi. Apalagi penempatan struktur kata yang acak adul. Bisa bikin eror itu.
Kalo dilihat sebagai hiburan, kalimat Vicky ini bisa menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi masyarakat. Belakangan masyarakat kita banyak disuguhi tayangan ga bermutu. Segala sesuatu yang dianggap lucu oleh masyarakat akan membawa dampat profit dan sebagainya bagi media. Kalimat Vicky ini berkembang karena masyarakat jugamenginginkannya. Mereka melihat itu sebagai hiburan. Meskipun pada dasarnya itu slaah kaprah dari segi konten siar.
Kalau kita lihat dari sudut pandang yang lebih filosofis maka fenomena Vicky ini dapat direpresentasikan dengan kurangnya ketokohan mereka dengan tingkat pendidikan tinggi. Minimnya jumlah masyarakat yang dapat mengakses pendidikan tinggi membuat mereka mengagungkan sesuatu yang baru dan terkesan intelek. Maka dari itu harus dilakukan banyak sekali pengkajian lebih mendalam terkait hal ini. Kita juga dapat mengatakan fenomena Vicky ini sebagai wujud kerinduan masyarakat terhadap sosok-sosok pintar namun tidak ikut arus kepentingan kekuasaan dan terpolitisasi. Hal menunjukkan secara implisit pada kita bahwa masyarakat ini membutuhkan sosok sosk panutan dengan kemampuan akademik yang mumpuni dan memiliki sisi ketokohan. Ketokohan bukan saja sebagi pejabat maupun personal, tapi ketokohan seseorang yang ahli dan dikenal oleh masyarakat melalui karya karyanya. Bukan ketokohan seorang ahli yang justru hanya dikenal di ranah keilmuan dimana dia berasal saja meupun yang hanya dikenal karena terlalu banyak mewakili kalangan tertentu yang berkepentingan.
argumen ini diperkuat dengan lamanya penayangan baik berita maupun update di media tentang Vicky. Selain itu, pengunaan kata kata Vicky ini juga dapat dengan mudah diimplementasikan oleh masyarakat. Baik dalam kehidupan sehari hari, ketika bergaul dengan teman, saudara, rakan sejawat. Bahkan melihat situasi ini politisi kitapun ikut ikutan latah dengan menggunakan kalimat nyentrik ala Vicky prasetyo ini. Sebut saya Anas Urbaningrum yang turut melakukannya dalam sebuah kesempatan. Harus diakui kasus kalimat Vicky prasetyo jauh lebih menarik disbanding kasusnya sendiri.

catatan sore : cendekia muda

Sore ini aku menghabiskan waktu dengan nongkrong di semacam cafenya perpus pusat. Jujur ditempat aku duduk saat ini, aku merasakan kehidupanku di kota lain kembali. Walau hanya ditemani dengan sekotak susu ultra dan satu cup mie instan sebagai penunda lapar, tapi itu semua sudah cukup untuk membawa atmosphere kembali. Mungkin untuk berikutnya aku akan lebih sering nongkrong dsini deh.
Hingga minggu kedua kuliah aku masih takjub dengan kondisi kampus ini. Termasuk dengan perpustakaannya. Akhir tahun lalu aku terkagum kagum melihat chrystal knowledge di balai irung. Hari ini berbilang bulan kemudian aku kembali terkagum dengan perpustakaan bulak sumur. Kedua jenis perpustakaan pusat itu memngubah paradigmaku tentang tempat ini. Jika dulu yang terlintas ketika kata perpustakaan disebut tak lebih dari deretan rak buku dengan puluhan ribu buku bahasan, tapi kini berubah. Perpustakaan bukan hanya soal ilmu, tapi perpustakaan juga bisa dijadikan tempat buat rekreasi. Perpustakaan di balai irung dilengkapi dengan fitness centre, sedangkan disini, hamper sama namun dilengkapi juga dengan café kecil seperti ini. Betapa iklim akademik benar bbenar terasa.
Aku sangat suka suasana ini. Berkumpul, ngopi, diskusi dan sebagainya. Obrolan ngalor ngidul dengan konten yang cukup berisi. Candaan candaan khas yang membuat kita seringkali beretorika maupun mengeluarkan joke ala stand up comedy. Hahahaha I am love in it.
Sebenernya aku cukup tertarik dengan pembicaraan sorang staff dengan mahasiswa tepat di depan mejaku. Mereka berdiskusi tentang banyak hal dan terlihat gayeng. Satu yang membuatku tertarik salah satu bahasannya adalah meraih pendidikan tinggi di usia muda. Menurut si Bapak ambil saja kesempatan untuk meraih pendidikan setinggi mungkin. Selagi masih muda dan berada pada usia produktif. Ketika kita memiliki keinginan tersebut, dan lingkungan sekitar mengamini langkah kita maka lakukan.tidak ada salahnya untuk terus belajar dan belajar.namun terkadang pendidikan tinggi di dalam negeri berbanding terbalik dengan kebutuhan pasar kerja dewasa ini yang masih suka campur baur. Melihat situasi itu tidak ada salahnya kalo kita mau melanjutkan ke luar negeri. Ketika kita menjadi sosok yang memiliki bargaining power tinggi namun situasi di dalam negeri tidak mendukung, maka tidak salah kalo kita ingin mencari sesuatu yang lebih di luar, karena kita memiliki modal untuk itu.
Siuasi sangat berbeda jika kita melihat bagaimana para pemuda di daerah terutama mereka yang hidup dan tinggal di daerah kantong TKI. Terkadang sebagian dari mereka memiliki sense of willingness meneruskan sekolah, namun disisi lain banyak yang terpaksa mengurungkan hal itu akibar berbagai factor. Situasi tersebut diperparah dengan tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai . sedangkan role model pekerjaan yang ada di daerah hanya sebagai buru, PNS, TNI dan POLRI. Berbeda jauh dengan mereka yang tinggal dikota. Disini mereka sudah mengetahui berbagai jenis pekerjaan.
Melihat situasi ini sebenarnya ada banyaksekali anak anak negeri ini memiliki keterbatasan dalam mengakses resource ilmu. Salahsatu alasannya adalah ketidaktahuan. Hal ini dapat terjadi akibat disparitas wilayah di Indonesia masih sangat tinggi. Seperti kita ketahui bersama, jawa masih menjadi kiblat Indonesia untuk menuntut ilmu. Saya jadi teringan kalimat dekan isipol UGM saat kuliah umum penerimaan mahasiswa pascasarjana di fakultas awal bulan lalu. Saat itu Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si mengatakan bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang meraih pendidikan tinggi hingga jenjang pascasarjana tidak lebih dari 5%. Hal ini mengakibatkan mayoritas angkatan kerja Indonesia berada pada lulusan SMP dan SMA. Jika ingin bargaining poswer negeri ini meningkat, maka kepedulian pendidikan juga harus tinggi. Berbagai paradigm juga harus digeser agar bangsa ini menjadi kuat.
Kembali ke topic yang dibicarakan pemuda dan salah satu staff tadi, kita dapat melihat betapa masih timpangnya system pendidikan kita. Ada terlalu banyak PR yang harus dilakukan kementrian terkait guna mengatasi persoalan ini. Anggaran pndidikan 20% selayaknya jangan hanya digunakan untuk penambahan fasilitas fisik saja, melainkan lebih dari itu, gunakanlah APBN yang ada untuk meningkatkan kualitas. Ketika seseorang mendapat kesempatan untuk meraih pendidikan tinggi, maka pastikan pula ada lapangan pekerjaan yang mau menerima dengan pendapatn yang sepadan.jangan justru membiarkan mereka kabur ke negeri orang dan berkarya disana. pemerintah harus lebih peka terhadap persoalan ini. Dari sisi etis mungkin apa yang di lakukan seseorang terdidik itu mengkhianati kalo boleh kita berkata ekstrem, bangsa ini. Namun dari sudut pandang kepantasan, sah sah saja dia melakukan itu. Karena bagaimanapun juga seseorang tetap membutuhkan penghidupan untuk diri dan keluarga. Bukan sekedar gengsi dan kelas social tertentu sebagai cendikia. Selain itu ketika ditempat dimana dia seharusnya mengamalkan ilmunya namun tidak mendapat apresiasi dengan baik, dia cenderung akan mencari tempat yang mau mengapresiasi apa yang dia miliki.

jogja undercover ( my version )

Jogjaaa… ketika kita berbicara tentang kota ini maka yang terlintas tentu saja keraton dan Malioboro. Semua orang sudah tahu itu. Namun tidak semua orang mengerti dengan jelas bagaimana situasi disini. Mungkin tulisan ini terlalu pagi untuk membuat sebuah justifikasi terkait kota pelajar ini. Tapi paling tidak saya menulis berdasarkan pada pa yang dirasakan. Mungkin one day semua bisa saja berubah bisa saja stag. Tiga hari pertama menyandang predikat sebagai mahasiswa di kota ini sebagai scholar ada beberapa hal yang dengan mudah mengusik diri saya. Mungkin secara random saya akan membahasnya.
Jogja dan Pejalan Kaki
Beberapa tahun lalu kota asal dimana saya bekerja Surabaya melakukan pembersihan besar besaran terhadap trotoar. Saat itu SAT POL PP menggusur banyak sekali lapak pedagang kaki lima dari trotoar dan mengembalikan fungsinya sebagai tempat yang nyaman bagi para pedestrian. Meski belum di seluruh bagian kota paling tidak ditempat dimana terdapat banyak orang, Surabaya boleh berbangga memiliki pedestrian yang memang layak meski jumlahnya belum semua. Paling tidak ketika kita berjalan di kawasan sepanjang pusat kota kita nyaman dengan trotoar yang ada. Padahal jika kita lihat dengan seksama jumlah pejalan kaki di Surabaya tidak terlalu signifikan disbanding jogja. Bahkan terkadang trotoar justru dipake jalan oleh motor, saya juga sering melakukannya di kawasan depan McD Basra. Hehehehehe
Disini situasinya berbeda, secara kuantitas, jumlah pejalan kaki di jogja lebih banya disbanding Surabaya. Namun secara kualitas trotoar, tempat para pejalan kaki di jogja tidak ramah pada pejalan kaki. Trotoar dengan mudah tersulap menjadi tempat jualan. Bahkan sama sekali tidak terdapat space untuk berjalan oleh satu orang. Silakan lihat di kawasan UGM dimana lebih dari separuh badan trotoar sebagai lapak jualan. Ini juga terjadi di banyak wilayah kota ini terutama yang dekat dengan lokasi konsentrasi massa. Selain itu, trotoar yang dimiliki pun tergolong sempit. Lebarnya bervariasi namun mayoritas kurang dari 1 meter. Pun ada trotoar yang lebar maka jalur pejalan kaki ini dengan mudah terhalang pohon besar atau kalau tidak posisi halte trans jogja.

Unlogic food rate
Saat awal awal mengurus keperluan study di kota ini, ada teman yang ngomong masalah ga logisnya harga makanan dengan pendapatan masyarakat. Dan sekarang saya mengakui jika harga makanan ketika kita piker lagi memang tidak logis. Betapa tidak, UMR kota ini berada dikisaran 1 hingga 1,1 jt per bulan, namun harga makanan standart berada dikisaran 10rb rupiah. Makanan standart yang saya maksud disini adalah warung pinggir jalan yang agak besar, dengan lampu penerangan, relative higienis dan menu yang layaknya ada di warung pinggir jalan. Bayangkan dengan harga sekali makan mencapai 10 – 13 ribu maka paling tidak tiap bulan gaji seseoarnag hanya akan habis buat makan, lalu gimana dengan keperluan lain? kok bisa ya mereka hidup dengan situasi perhitungan matematis sulit seperti ini. Tapi kan sekarang ada burjo dan angkringan mas? Iya memang benar, namun tidak semua burjo dan angkringan memiliki tingkat kebersihan dan higienitas baik. Sebagian justru mengesankan kotor. Itulah yang membuat saya mengatakan standart makanan yang 10-13rb sekali makan. Lebih enak memang makan di kantin kampus yang relative lebih murah. Sebenernya esensi temmpat makan tidak harus mewah tapi bersih, enak dan murah.
Sebagai perbandingan Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia. Kota ini memiliki UMR 1, 74jt / bulan, kita masih bisa dengan mudah menemukan makanan plus minum dengan kriteria diatas dengan harga dibawah 10 ribu. Sehingga masih bisa buat saving.

Ada perda KTR KTM ga sih?
Beberapa kota di Indonesia belakangan sibuk menerapkan Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan terbatas Merokok. Nah di kota ini saya melihat sebuah ke ironisan. Orang dengan enaknya merokok dimanapun mereka mau. Hanya di tempat seperti stasiun saja yang mereka patuh terhadap regulasi. Bahkan yang saya ga abis piker kenapa etika merokok tidak mereka terapkan ya. Etika merokok disini adalah tidak melakukannya bisa ruangan sempit meski tanpa ac sekalipun, jika ada wanita, dan jika ada anak kecil. Disini sejauh saya melihat butuh ngrokok mah ngrokok ajah ga ada yang larang juga. Memang untul urusan yang satu ini self awareness kitalah yang lebih dominan.

KERETA EKONOMI AC ATAU MODA TRANSPORTASI LAIN?

udah lewat tengah malam di jogja.. kosku udah sepi banget.. anak anak yang tadi ribut sendiri gara gara nonton bola mungkin udah pada meringkuk dibawah selimut masing masing. mungkin juga masih ada yang online atau apa aja lah.. hehehe.. tapi disini aku justru melampiaskan hasrat ngeblog terpendam ini.. hehehehe

barusan aku mulai iseng googling buat mencari moda transportasi yang pas buat balik ke surabaya tiap minggunya. maklum sejak awal september tahun ini aku resmi hidup di dua kota berbeda, jogja dan surabaya. di jogja aku melanjutkan misi mencari ilmu sedang di surabaya adalah misi mencari pangupajiwo alias kerjaaaa.... sebuah simbiosis mutualisme di dua kota kali ya... hehehehehe...

untuk bulan september ini aku udah mengantongi tiket promo dari kai yang sedang berbaik hati. eksekutif cukup 50 ribu dan bisnis yang hanya 30rb sajah... murah bangeeeeetttt kannn???? awalnya setelah semua tiket ini habis aku berencana buat naik bus ajah ke surabaya. tapi tak pikir pikir maneh lha kok ga efisien ya. niatnya ngirit salah salah malah boros. kenapa, bayangin ajah, kuliahku kelar jam 10 pagi. kalo aku naik bus paling cepet naik jam 12 siang. estimasi jam itu termasuk ngantri trans jogja dari kampus ke giwangan. nah estimasi tiba di surabaya paling cepet jam 8 malamatau lebih, dengan estimasi tiba jam segitu bus kota pasti udah agak susah didapat. selain itu aku masih suka jiper dan ragu akan kemanan bus kota. mau taksi mahal bener yak.. kalo sekali dua kali mah ga masalah. lha ini tiap minggu bertaksi ria dari bungurasih ke rumah yang ada di kawasan nyaris tengah kota, sing nggenah ae reeeekkk.. jebol bandare iso iso...

mau nunggu sancaka sore, lha kok yo mengandung larang jaya. untuk kelas bisnis ajah di kisaran 110 ribu normal. kalo pesen 3 bulan sebelumnya bisa dapat 80 ribu. sama kayak harga eka cepat. kalo naik kereta mau ga mau harus naik taksi buat pulang. secara angkot juga udah ga ada dan ga ada yang jemput pula. *mikir bener.

nah setelah googling ini tadi aku nemu salah satu moda yang cukup representatif dari segi biaya dan waktu tempuh. yakni kereta api ekonomi. sedkitnya ada 4 rangkaian kereta api ekonomi yang bisa aku naikin dari jogja yakni sri tanjung, logawa, pasundan dan gaya baru malam selatan. dari sekian banyak pilihan pasundanlah yang sepertinya paling cocok. kenapa, dari jam berangkat masih siang, jam setengah 2 siang, sedangkan gaya baru agak malam dan aku belum tahu berapa harganya...

nah kenapa mau sih naik ekonomi? hmmmm pertanyaan yang bener bener susah buat di jawab. karena jujur di kepalaku yang namanya ekonomi pasundan masih aja identik dengan bnyak berhenti, rame, banyak asongan, pengamen, dll. tapi apakah benar demikian adanya? ini yang masih harus dicari jawabnya melalui serangkaian testing.. hehehehe... setahuku kereta api ekonomi sekarang itu udah pake ac semua, terus udah dilengkapi polsuska dimana mana, so bisa dibilang relatif lebih aman dari yang dulu. semoga ajah gitu deh ya. hehehehe... dan sepertinya aku memang harus beneran hunting ke lempuyangan soal ini. alasan lain mau pake ekonomi aku rasa perjalanannya ga semelelahkan dulu deh. tapi ga tau lagi sih kalo masih tetep. selain itu aku baru ngantor jumat siang paling cepet, so dengan tiba di surabaya jam 8 malam masih ada cukup waktu buat istirahat. cum yang aku pikirin adalah masalah harga yang ga logis. sempet baca kalo harga kereta ekonomi menembus angka 100rb... gile beneeeeeeerrr... mending gue naik sancaka kalo segitu. namun katanya per tanggal 1 sepetember ada perubahan. dimana harganya turun jadi 55rb. hmm kita liat aja deh apa yang akan terjadi nanti, yang jelas aku mau liat dulu situasinya langsung ke lempuyangan. pasalnya mencari data kereta ekonomi jauh lebih susah dibanding kereta bisnis maupun eksekutif...

Rabu, 11 September 2013

First Impression Universitas Gadjah Mada

Wah udah lama banget ga menyapa para pembaca. Kali ini dengan status yang sudah berbeda. Aku udah resmi tercatat sebagai mahasiswa kampus biru alias Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. First impression bisa sekolah disini patinya seneng banget ya. Secara saya belajar di kampus terbaik negeri ini. Aku bener bener merasakan international atmosphere disini.
Satu kesan pertama adalah UGM itu kampus atau kota mandiri sih. Betapa tidak, kampus ini terbelah oleh jalan umum. Sehingga disini juga teritegrasi dengan sejumlah public service lets say transportasi umum. Mau kemana ajah semua ada disini. Trans jogja juga punya beberapa shelter disini. Kurang apa coba. Satuyang membuat aktu akjub juga adalah seluruhpengguna jalan otomatis akan mengurangi kecepatannya ketika masuk kesini. Situasi ini aku rasa berbeda dengan di beberapa kampus Surabaya. Disana meskipun besar tapi awareness orang yang melintas tidak seperti disini. Lets say kawasan salahsatu kampus teknik terbaik di wilayah Indonesia timur, dimana para pengendara motor yang notabene mahasiswa dan dosen dapat memacu kendaraan dengan kecepatan lumayan tinggi di lingkungan kampus. Atau salah satu kampus yang ada di wilayah mulyorejo. Dimana disana juga dilewati kendaraan umum tapi mereka para pengendara gam au mengalah. Situasi yang sama juga terjadi di kampus deket RS dr Soetomo dimana engendara seolah ga peduli kalo disitu ada kampus.
Kenapa aku ilang kota mandiri, karena disini kita bisa dengan mudah menjumpai orang yang jalan kaki, naik sepeda pancal, motor dan mobil. Bahkan pejalan kaki dan pengguna sepeda angina seolah mendapat prioritas disini. Semua kendaraan bermotorberjalan pelan di lingkungan kampus. Ga takut ketabrak deh. Aku rasa snagat sulit di Indonesia menemukan situasi seperti ini.
Dari segi kerapatan bangunan disini cukup padat juga sih. Sehingga ga takut kalo jalan malam malam. Paling Cuma sepi ajah. Tapi sepinya juga ga banget banget. Kawasan kampus ini juga ditunjang dengan berbagai pedagang, mulai dari pedagang kelontong kaki lima, arung makan dan sebagainya. Semua itu ada baik di dalam maupun di sekitar kampus. Apalagi kalo minggu di sisi lain kampus ini ada yang namanya sunmor atau Sunday morning.semacam pasar kaget yang menjual banyak barang. Mungkin one day kalo pas bisa merasakan weekend disini aku pengen coba kesana.
Dari segi pelayanan mahasiswa disini totally helpful. Staff akademik benar benar memposisikan diri mereka untuk melayani mahasiswa. Pertanyaan dari kami mahasiswa benar benar terakomodir. Bahkan mereka benar benar melayani dengan senyum, dan mencarikan data yang kami butuhkan dengan baik. Sempet di awal kuliah ini ada chaos perkara jadwal, karena system mengacak posisi kelas kami. Saat itu aku dan beberapa teman mencari si mbak yang kebetulan lagi ada keperluan keluar ruangan. Reflek aku ngomong
‘ mbak jangan bosen liat kita ya? ‘
Dan si mbak dengan bangga dan ramahnya menjawab,
‘ wah ya ndak to mas.. kan sampe 2 tahun ke depan saya harus mengakomodir setiap kebutuhan mahasiswa disini. Ini sudah tugas saya kok masa.. jadi ya santai wae’
Kalimat itu nyaris tidak pernah saya dengar di kampus lama. Bukan bermaksud membandingkan, hanya saja di kampus saya unsur ‘ who are u ‘ dan ‘ how close we are’ masih sangat kental. Dari 5 orang petugas tata usaha di fakultas saya dulu, praktis hanya satu orang yang benar benar melayani kami dari hati. Yang lain kemana? Big question mark.
Jujur menjadi bagian kampus pembawa perubahan eradaban bangsa ini saya benar benar bangga. Etapa tidak baru aku tahu ga semua pendaftar diterima. Kita masih belum tahu unsur apa yang membuat pendaftar tersebut ditolak. Namun personally saya merasa sebagai world class university, kampus ini bukan sekedar mencari orang pinter. Setiap orang yang masuk kesini pasti pinter. Tapi lebih dari itu, kampus ini mencari orang orang yang mau maju, pnya passion, dan tetu saja memiliki isi yang jelas. Pasalnya belajar bukan sekedar urusan hari ini berapa banyak literature yang kita baca, melainkan bagaimana kita merencanakan positioning diri setelah pendidikan iniselesai untuk membantu memecahkan permasalahan bangsa. Disini kita tidak lagi bicara soal kedaerahan melainkan problem solving for Indonesia better. Saya mendadak jadi inget kalimat Cina dalam Cin(T)a.
‘ buat apa pemerintah mengijinkanmu sekolah disini kalo ga bisa bantuin mereka mikir’
Agaknya kalimat inlah yang harus terpatri di diri setiap scholar. Siapapun mereka esensi pendidikan bukan sekedar untuk membawa kita pada salary baru, tapi lebih dari itu pendidikan juga membawa perubahan bagi diri terlebih bagi peradaan bangsa. Maka dari itu sekali lagi I am proud to be part of the greatest community here.