Kamis, 25 November 2010

RENUNGAN MERAPI : " Sekolah Kehidupan dibalik Wedhus Gembel "

Sabtu 20 nopember 2010, 30 menmit lepas dari pukul 13.00. Sebuah mobil hitam penuh abu vulkanik memasuki salah satu jalan menuju ke barat di tengah tengah bangunan pasar kawasan muntilan magelang. mobil itu berhenti tepat di di depan SDN Deles II Magelang. Disini merupakan satu dari sekian banyak camp pengungsi erupsi gunung Merapi di Kawasan Magelang. tiba di gerbang sekolah ini kami disambut oleh bau menyengat aliran air yang berasal dari dapur umum. kondisi dari bengunan sekolah dasar negeri ini telah disulap menjadi ccamp pengiungsian. abu vulkanik sudah mulai mengeras disana. ketebalan abu vulkanik itu sudah mencapai 10 centimeter bahkan lebih di beberapa sudut. cuaca yang terik dan sedikit bengain membuat kualitas udara yang kami hirup tidak terlalu baik. abu vulkanik beterbangan dan memedihkan mata bagi mereka yang tidak berkaca mata. selain itu abu vulkanik juga dapat membuat sesak nafas bagi mereka yang menghirupnya.



Didalam SDN Deles II kami diterima oleh beberapa orang relawan. ada pemandangan berbeda disini. jika di beberapa pengungsian lainnya hanya aa relawan dan warga sekitar, namun di SD Deles ini kami melihat ada pemandangan berbeda. Ada dua orang berseragam guru SD yang sedang bertugas disana. awalnya kami merasa biasa biasa saja dengan kehadiran mereka. kami pikir mereka hanyalah guru sekolah tersebut yang memang sedang on duty. namun perkiraan itu harus meleset. guru itu bukanlah pegawai di deles 2.



salah satu dari guru tersebut adalah Sumaryati. wajahnya sudah dipenuhi keriput pertanda usia yang mulai senja. sekitar 30 tahun lamanya dia telah mengabdi sebagai guru SD. Saat ini beliau mengajar di kelas I. bersalaman dengan ibu sumaryati mengingatkanku akan nenek yang ada di my beloved town. Siapa sangka, ibu sumaryati harus menempuh jarak lebih dari 20 kilometer untuk mencapai pengungsian SDN Deles II. sebenarnya dia adalah guru di salah satu SD lereng merapi. dia juga ikut menjadi pengungsi. namun panggilan jiwa yang membuatnya mau menempuh jarak itu guna menemui siswanya. Bu Sumaryati juga sudah paham betul dengan kondisi siswanya yang masih trauma terhadap erupsi gunung merapi. disana dia mengajar anak anak pengungsi. baik yang berasal dari sekolah tempat dia bekerja sebelumnya maupun siswa lain. Bagi bu Sumaryati yang terpenting saat ini adalah melihat anak anak masih bisa tertawa gembira. Seberat apapun penderitaan akibat erupsi gunung merapi, anak anak tidak boileh dikorbankan. mereka harus tetap riang gembira. tekanan psikologis terhadap anak dapat berdampak besar terhadapa perkembangan psikis anak nantinya.



Tidak banyak orang tahu bahwa daerah ibu Surnmayati saat ini telah rata dengan material vulkanik gunung merapi. niat iklahs membantu anak pengungsi, dan penggilan jiwa sebagai seorang guru membuatnya tegar. tak terlihat adanya gurat kesedihan di muka beliau. bahkan beliau terus menyemangati siswa siswinya. Ibu Sumaryati juga berkata jika desanya merupakan lokasi tertinggi di magelang, dimana desa tersebut berbatasan langsung dengan hutan lereng merapi. desa dan hutan itupun sekarang telah bersih terkena dahsyatnya erupsi merapi. mengajar dengan siswa yang heterogen sebenarnya sulit, namun beliau sama sekali tidak gentar dan melawan perasaan perasaan negatif yang acapkali menghinggapinya.



Ibu Sumaryati hanyalah satu contoh dari banyak warga pengungsi yang mencoba memberikan arti bagi sesama manusia walau sejatinya dia juga sedang tertimpa bencana. Agaknya di jaman yang serba modern seperti sekarang ini, di saat sebagian orang sudah terbuai dengan BlackBerry yang terkadang membuat orang autis, mall yang menjamur, dan berbagai fasilitas lain yang menggiurkan membuat semangat menolong kita harus dipertanyakan. Bisakah kita tetap memikirkan orang lain di kala diri sendiri sedang berduka? Apakah kita akan terus hidup dalam tangis ketika jatuh atau justru bangkit karena masih ada banyak hal yang bisa kita kerjakan? tampaknya itulah yang harus kembali dipelajari dan dikaji oelha manusia modern. nilai nilai Ketulusan, Tanggung Jawab, Kemanusiaan, Pantang Menyerah yang sesungguhnya bukan berada dalam genggaman BlackBerry, Ruang ber AC di tempat kerja dengan akses internet sekalipun, atau akses terhadap discovery chanel dan berbagai channel pengetahuan yang disinyalir bisa menambah pintar. nilai nilai tersebut hanya akan kita dapatkan melalui satu pintu bernama sekolah kehidupan.semua orang bisa belajar disini tanpa pandang gender, usia, strata ekonomi dll. hanya satu pertanyaan yang harus kita jawab untuk masuk kesana " Apakah kita mau meninggalkan comfort zone untuk belajar disana? ". Jawabannya ada di hati kita semua