Selasa, 17 September 2013

catatan sore : cendekia muda

Sore ini aku menghabiskan waktu dengan nongkrong di semacam cafenya perpus pusat. Jujur ditempat aku duduk saat ini, aku merasakan kehidupanku di kota lain kembali. Walau hanya ditemani dengan sekotak susu ultra dan satu cup mie instan sebagai penunda lapar, tapi itu semua sudah cukup untuk membawa atmosphere kembali. Mungkin untuk berikutnya aku akan lebih sering nongkrong dsini deh.
Hingga minggu kedua kuliah aku masih takjub dengan kondisi kampus ini. Termasuk dengan perpustakaannya. Akhir tahun lalu aku terkagum kagum melihat chrystal knowledge di balai irung. Hari ini berbilang bulan kemudian aku kembali terkagum dengan perpustakaan bulak sumur. Kedua jenis perpustakaan pusat itu memngubah paradigmaku tentang tempat ini. Jika dulu yang terlintas ketika kata perpustakaan disebut tak lebih dari deretan rak buku dengan puluhan ribu buku bahasan, tapi kini berubah. Perpustakaan bukan hanya soal ilmu, tapi perpustakaan juga bisa dijadikan tempat buat rekreasi. Perpustakaan di balai irung dilengkapi dengan fitness centre, sedangkan disini, hamper sama namun dilengkapi juga dengan café kecil seperti ini. Betapa iklim akademik benar bbenar terasa.
Aku sangat suka suasana ini. Berkumpul, ngopi, diskusi dan sebagainya. Obrolan ngalor ngidul dengan konten yang cukup berisi. Candaan candaan khas yang membuat kita seringkali beretorika maupun mengeluarkan joke ala stand up comedy. Hahahaha I am love in it.
Sebenernya aku cukup tertarik dengan pembicaraan sorang staff dengan mahasiswa tepat di depan mejaku. Mereka berdiskusi tentang banyak hal dan terlihat gayeng. Satu yang membuatku tertarik salah satu bahasannya adalah meraih pendidikan tinggi di usia muda. Menurut si Bapak ambil saja kesempatan untuk meraih pendidikan setinggi mungkin. Selagi masih muda dan berada pada usia produktif. Ketika kita memiliki keinginan tersebut, dan lingkungan sekitar mengamini langkah kita maka lakukan.tidak ada salahnya untuk terus belajar dan belajar.namun terkadang pendidikan tinggi di dalam negeri berbanding terbalik dengan kebutuhan pasar kerja dewasa ini yang masih suka campur baur. Melihat situasi itu tidak ada salahnya kalo kita mau melanjutkan ke luar negeri. Ketika kita menjadi sosok yang memiliki bargaining power tinggi namun situasi di dalam negeri tidak mendukung, maka tidak salah kalo kita ingin mencari sesuatu yang lebih di luar, karena kita memiliki modal untuk itu.
Siuasi sangat berbeda jika kita melihat bagaimana para pemuda di daerah terutama mereka yang hidup dan tinggal di daerah kantong TKI. Terkadang sebagian dari mereka memiliki sense of willingness meneruskan sekolah, namun disisi lain banyak yang terpaksa mengurungkan hal itu akibar berbagai factor. Situasi tersebut diperparah dengan tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai . sedangkan role model pekerjaan yang ada di daerah hanya sebagai buru, PNS, TNI dan POLRI. Berbeda jauh dengan mereka yang tinggal dikota. Disini mereka sudah mengetahui berbagai jenis pekerjaan.
Melihat situasi ini sebenarnya ada banyaksekali anak anak negeri ini memiliki keterbatasan dalam mengakses resource ilmu. Salahsatu alasannya adalah ketidaktahuan. Hal ini dapat terjadi akibat disparitas wilayah di Indonesia masih sangat tinggi. Seperti kita ketahui bersama, jawa masih menjadi kiblat Indonesia untuk menuntut ilmu. Saya jadi teringan kalimat dekan isipol UGM saat kuliah umum penerimaan mahasiswa pascasarjana di fakultas awal bulan lalu. Saat itu Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si mengatakan bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang meraih pendidikan tinggi hingga jenjang pascasarjana tidak lebih dari 5%. Hal ini mengakibatkan mayoritas angkatan kerja Indonesia berada pada lulusan SMP dan SMA. Jika ingin bargaining poswer negeri ini meningkat, maka kepedulian pendidikan juga harus tinggi. Berbagai paradigm juga harus digeser agar bangsa ini menjadi kuat.
Kembali ke topic yang dibicarakan pemuda dan salah satu staff tadi, kita dapat melihat betapa masih timpangnya system pendidikan kita. Ada terlalu banyak PR yang harus dilakukan kementrian terkait guna mengatasi persoalan ini. Anggaran pndidikan 20% selayaknya jangan hanya digunakan untuk penambahan fasilitas fisik saja, melainkan lebih dari itu, gunakanlah APBN yang ada untuk meningkatkan kualitas. Ketika seseorang mendapat kesempatan untuk meraih pendidikan tinggi, maka pastikan pula ada lapangan pekerjaan yang mau menerima dengan pendapatn yang sepadan.jangan justru membiarkan mereka kabur ke negeri orang dan berkarya disana. pemerintah harus lebih peka terhadap persoalan ini. Dari sisi etis mungkin apa yang di lakukan seseorang terdidik itu mengkhianati kalo boleh kita berkata ekstrem, bangsa ini. Namun dari sudut pandang kepantasan, sah sah saja dia melakukan itu. Karena bagaimanapun juga seseorang tetap membutuhkan penghidupan untuk diri dan keluarga. Bukan sekedar gengsi dan kelas social tertentu sebagai cendikia. Selain itu ketika ditempat dimana dia seharusnya mengamalkan ilmunya namun tidak mendapat apresiasi dengan baik, dia cenderung akan mencari tempat yang mau mengapresiasi apa yang dia miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar