Jumat, 31 Januari 2014

‘ 12 Menit Kemenangan Untuk selamanya ‘ memoar diri dalam Hamengkubuwono Marching Band Championship (HB Cup) 2003

Jam sudah menunjukkan hamper pukul 11 siang. Namun aku masih bertahan di salah satu kamar suite Meritus Hotel Surabaya. Aku masih dengan setia menemani keluarga mbak Ita packing sebelum kembali ke Jogja dengan penerbangan wings air siang itu juga. Aku sebenernya bisa saja pamit untuk pulang duluan. Namun aku sayang melewatkan moment diskusi yang terus berglir setiap detik dengan mbak Ita dan ibundanya, yang notabene salah satu scientist di UGM. Ga Cuma itu, kelucuan Arcelion, anaknya mbak Ita membuatku makin enggan untuk ninggalin hotel di bilangan Basuki Rachmad ini tadi siang. Padahal aku ada misi sediri. Apa itu.. jreng jrengggg.. nonton film ‘ 12 Menit Kemenangan Untuk selamanya yang bercerita tentang one of my beloved world , Marching Band.
Hamper jam 12 keluarga mbak Ita keluar hotel menuju bandara. Sedangkan aku langsung tancap gas ke Ciputra World. Jalanan lengang akibat libur imlek cukup memangkas waktu tempuh basra - mayjend sungkono yang normal pada siang hari bisa selama 20an mnit menjadi hanya 10menit saja. aku langsung lari naikke lantai puncak dan beli tiket. Masih ada waktu 5 menit sebelum film mulai ketika aku masuk ke studio.
******
Apa sih sebenernya yang membuat film ini begitu menarik sampai harus bela belain datang ke ciputra world? Jawabannya adalah ambience dari Marching Band. Itu yang membuatku kesana. Film ini bercerita tentang perjuangan sebuah tim bernama PKT Bontang, untuk bisa ikut bertanding dalam GPMB ( Grand Prix Marching Band) sebagai lambing supremasi tertinggi perlombaan marching band negeri ini. Film ini bercerita bagaimana proses latihan ribuan jam yang harus dilalui oleh para anggota marching band. Baik latihan penguasaan alat maupun display. Sejumlah konflik juga digambarkan dengan cukup clear. Minimal sama dengan situasi dilapangan. Mulai dari kedisiplinan anggota, permasalahan antar anggota baik, like and dislike, pertentangan antara pelatih yang idealis dengan manager tim yang cenderung bermain aman namun banyak menuntut, anggota yang dilarang ikut kegiatan ini oleh kedua orang tuanya karena dianggap tidak berguna bagi masa depan, konflik yang berkecamuk dalam diri pemain, emosi untuk menjadi yang terbaik, hingga ketatnya sebuah kompetisi marching band.
Aku benar benar terbawa dalam alur film tersebut. Pada bagian pertama film ini membawa ingatanku melayang ke beberapa tahun silam ketika harus mempersiapkan diri dalam salah satu ajang lomba marching band tingkat nasional, hamengkubuwono marching band championship di Jogjakarta. Bagian awal tersebut menceritakan bagaimana kerasnya latihan yang harus dilalui oleh pemain. Film ini memvisualkan cukup baik bagaimana pemain melakukan kesalahan yang disebabkan anggota didekatnya yang seharusnya menjadi Patokan tidak ada. Anganku melayang saat mas Aziz dan mbak Nggona melatih kami dengan semangat kala itu. Mereka terus meminta kami untuk kompak, mengingatkan untuk berekspresi dan sebagainya.
Adegan latihan lainnya adalah TC (training Centre) sebuah proses yang harus dilalui oleh seluruh pemain. Dimana mereka harus berlatih selama 14 jam sehari. Aku pun juga mengalaminya. Kami mulai latihan jam 7 pagi dan baru selesai jam 7 atau 8 malam setiap hari minggu selama 4 bulan. Selain latihan TC, kami juga harus ikut latihan penguasaan alat tiga kali seminggu dari jam 3 – 6 sore, dan latihan display juga 3x seminggu jam 3-6 sore pula. Praktis 7 hari seminggu saat itu aku ada di gudang. Nama yang kami berikan untuk secretariat Marching Band Bina Remaja. Intensitas ini terus meningkat hingga mendekati keberangkatan.
Berbicara soal latihan, ada salah satu adegan ketika sang ealyn mendapatkan persyaratan dari sang ayah untuk mendapatkan nilai pelajaran 95 baru diijinkan main marching band. Seolah mendapatkan tantangan, dia intens ikut latihan, dia ikuti semua tahapan yang demikian keras, dan segera pulang ke rumah setelah selesai. Selanjutnya berbekal semangat dan passionnya di dunia marching band, di rumah dia belajar hingga larut malam untuk mengejar target dari sang ayah. Akhirnya itu membuahkan hasil indah ketika dia terpilih untuk mengikuti olimpiade fisiki mewakili sekolahnya.
Ketika seseorang memutuskan untuk aktif di marching band ketika masih sekolah, pasti akan menghadapi maslaah ini. Kekuatan fisik saja tidak cukup, melainkan mental dan motivasi untuk belajar menjadi dominan disini. Ritme latihan yang demikian tinggi terkadang membuat siswa lelah duluan sebelum sempat belajar. Sehingga akademik mereka jeblok. Aku juga merasakan bagaimana beratnya mempertahankan nilai akademik tetap berada di jajaran diperhitungkan kala itu. Hal terberat adalah ketika saya harus menghadapi ulangan pada hari senin, sementara pada minggu, sepanjang hari saya berpanasan di lapangan untuk latihan display. Saya tidak munafik dan berkata tidak lelah, saya lelah secara fisik, bahkan kadang, saya tertidur pulas didepan tumpukan buku. Namun semangat untuk tetap mempertahankan prestasi, membuat saya bangun lebih awal tiap pagi dan belajar. Dalam fase ini musuh utama adalah diri sendiri. Seberapa kuat mampu untuk tegas pada diri sendiri guna menunda kantuk dan lelah serta tidak menjadi sosok yang cengeng. Marching band mengajarkan saya hal itu. Ia mengajarkan saya bagaimana caranya agar dapat membagi waktu, tetap focus pada tujuan hidup, focus pada mimpi besar dan sebagainya. Finally saya masih bisa mempertahankan gelar 6 besar di kelas selama 3 tahun berturut turut kala itu ditengah, mohon maaf terjun bebasnya prestasi akademik rekan rekan saya.
Marching band juga mengajarkan saya konsistensi dan persahabatan. Betapa tidak, ritme latihan yang demikian keras kadang menjemukan. Terlebih ketika kami harus mengulangi formasi yang sama, ataupun mengulang not yang sama berulang ulang. Untuk mengisi kejenuhan ini celetukan dan guyonan guyonan spontan cukup menyegarkan suasana kala itu. Ini pula yangmenyebabkan adanya kedekatan diantara kami semua.
Dalam marching band, persahabatan sebenernya bukan saja terbangun sesame rekan dalam satu tim. Ketika sebuah tim tampil di ajang perlombaan besar, maka persahabatan itu juga muncul antar tim dari berbagai daerah. Mereka disatukan atas nama pemain marching band. Group yang digambarkan dalam film ini adalah PKT Bontang. Imagiku langsung beralih ke tahun 2002. Satuanku pernah head to head dengan mereka di Kejurda Jatim dan Jatim Open Tournament di Surabaya. Setelah elomba itu kami masih intens komunikasi. Persahabatan lain yang terbentuk saat itu adalah antara Bina Remaja dengan Gita Sandi Putra langsa, Telkom Langsa NAD. Kami masih terus komunikasi hingga bencana tsunami menerjang aceh. Sejak saat itu hingga hari ini kami benar benar lost contact. Personally saya masih bisaberharab bertemu kembali dengan mereka semua sih. Hehehehe…
Fase latihan tersulit adalah belajar lagu dan koreo baru. Belajar membaca not per alat. Kami harus memiliki penguasaan pada alat dan lagu. Kadang kami harus menghitung jeda yang cukup lama dengan langkah kaki. Konsentrasi sangat dibutuhkan disini ketika latihan per alat itu. Karena ketika kami semua dikombinasikan, akan sangat mudah menandai di bagian mana kita harus bunyai dan mana yang diam.
Film ini juga menunjukkan, selalu ada air mata yang tertumpah jelang keberangkatan. Jika di film ini digambarkan airmata yang menimpa beberapa anggota, namun saat kami dulu, tangisan itu muncul secara bersamaan. Tingkat stress yang cukup tinggi membuat tensi sering naik termasuk pelatih. Kami semua berkumpul dan mengevaluasi diri bersama. Saat itulah ada adegan menangis jamaah dan berjanji akan melakukan yang terbaik. Tangis jamaah itu seolah menjadi titik puncak lelah kami selama itu. Karena setelahnya kami berusaha tampil maksimal.
Filosofi yang diambil dari 12 menit kemenangan untuk selamanya adalah para anggota marching band berlatih selama ribuan jam, membaca beratus kali not, berlatih koreo siang dan malam, demi 12 menit yang sangat menentukan. 12 menit yang menjadi puncak latihan berat tersebut. Hanya 12 menit untuk menunjukkan semuanya kepada dunia. karena hasil latihan mereka akan ditampilkan, dinilai, dan diapresiasi dengan durasi tak lebih dari 12 menit performance. 12 menit ini pula yang akan membekas menjadi sebuah kenangan sepanjang masa dalam hidup seluruh anggota. Karena setelah 12 menit itu, mereka mungkin tidak akan pernah lagi berlatih koreo yang sama, lagu yang sama bahkan bermain dengan tim yang sama.
Detik detik menegangkan yang dihadapi oleh semua pemain marching band dimanapun dia berada digambarkan cukup baik dalam film ini. Ketika adegan di ruang tunggu, saya kembali merasakan gimana kami berdiri di depan pintu utara mandala krida menunggu giliran masuk ruangan. Seketika itu pula, 12 menit sebelum masuk, kami merapatkan barisan. Membentuk lingkaran, berdoa bersama. Sama seperti yang dilakukan tim PKT sebelum masuk istora di film tersebut. Jantung ini makin berdegub ketika terdengar suara ‘ yuk pintu siap dibuka ya’. Begitupintu terbuka, dengan bangga kami masuk ke dalam stadion mandala krida, diiringi tepukan penonton. Aku masih bisa merasakan hingga hari ini bagaiaman kami berjalan, detik detik warming up, dan tentunya kalimat ‘ for the judge are you ready?’ dimana juri utama saat itu adalah Jim Casella dari Santa Clara vanguard and dribble band Amerika Serikat. Sebuah kehormatan bagi kami yang tim dari kampung ini, dinilai langsung oleh expert dari amerika. Hanya satu yang ada di pikiran kami saat itu, menunjukkan yang terbaik. 12 menit itu pun akhirnya berlalu, sayangnya, 12 menit kami saat itu harus ditutup dengan ambruknya Asri bersama basdrum yang dibawa. Ya.. asri pingsan bersamaan dengan pasukan dihentikan oleh gitapati. Sampai saat ini, masih teringat jelas bagaimana sisca dan weni sang duet terompet menangis haru karena diapresiasi oleh penonton di mandala krida. Bahkan sisca membutuhkan waktu yang sangat lama untuk berhenti. Teringat pula bagaimana wina sang solo dancer histeris tidak percaya dia telah tampil. Namun dibalik euphoria tersebut, ami masih terus cemas pada kondisi Asri. Tawapun kembali pecah ketika kami melihatnya jalan sambil dirangkul. Ya teman kami kembali. Ini sama seperti kembalinya eavlyn dalam film ini.
Saat yang tak kalah menengangkan dan mengharukan ketika kami harus berdefile upacara penutupan. Jantung ini makin berdebar kencang ketika gelarjuara disebutkan. tawa, dan tangis kembali pecah ketika panitia mengumumkan kami meraih juara dua kala itu. Sesuatu yang benar benar sangat membanggakan. Meski bukan menjadi juara 1, namun saya bangga, 12 menit itu telah berhasil kami lalui dengan baik. 12 menit yang mendebarkan, dan menegangkan. 12 menit yang memang akan dikenang selamanya.
******
Banyak orang beranggapan bahwa marching band hanya hura hura. Ada juga yang beranggapan buat apa ikut marching band,Cuma dapat capek dan ga dapat duit, kalimat satir lain adalah marching band Cuma memperalat kita untuk memperkaya owner dari organisasi tersebut, bahkan parahnya ada yan bilang marching band merupakan wujud exploitasi sumber daya manusia. Apa yang saya tuliskan ini setidaknya fakta yang seringkali terjadi dilapangan. Terutama ini diucapkan oleh mereka yang tidak puas dengan cara melatih, cara kerja, tidak siap akan tekanan dan sebagainya. Ketika saya masih berada dalam organisasi ini, mungkin saya juga akan berfikir demikian, terlebih ketika banyak orang mempertanyakan keberadaannya dengan sudut pandang rupiah.
Namun kini, setelah saya melewati fase itu, saya bisa menyimpulkan, kami memang tidak pernah mendapat rupiah, mungkin kami memang diexploitasi, mungkin kami memang memperkaya owner. Namun ada yang terlupa, kami bukan hanya bermain musik. karena disini kami ditempa, kami belajar bagaimana caranya konsisten. Kami belajar memahami satu sama lain dan mengesampingkan ego, kami belajar bagaimana bersosialisasi dan berteman, kami belajar berelasi dengan banyak orang termasuk mereka yang diluar provinsi, kami memang menjadi hitam legam, namun kami memiliki tumpuan kuat di kaki yang kelak akan menopang diri ini. Kami memiliki tangan yang kuat sebagai representasi latihan membawa alat music yang kelak akan kami gunakan lebih sering untuk bekerja. Kami memiliki otak yang sudah terbiasa membagi konsentrasi yang kelak akan digunakan ketika harus multitasking di dunia kerja. Mungkin kami memang hanya menyanyi, namun sebenernya kami menyanyikan simfoni kehidupan dimasa yang akan datang. Mengutip kalimat terakhir Titi Rajo Bintang pada manager tim yang mengabarkan ayah Lahang meninggal beberapa menit sebelum lomba dimulai,’ Biarkan Lahang tetap disini, dia tidak akan mendapat apa apa ketika meninggalkan semua sekarang. biarkan dia bisa membawa pulang susuatu yang membuatnya terkenang. Sesuatu yang membanggakan, ‘ ya 12 menit tersebut memang benar benar membanggakan. saya bangga pernah menjadi bagian dari Marching band.. karena I march in every step and my blood…


7 komentar:

  1. woww terlalu panjang sih mas....... tapi intinya kayaknya aku bisa dapet deh. aku juga pemain marching band gita sandhy putra telkom aceh. waktu itu juga ikut hamengkubuwono cup di jogja tahun 2003.
    aku cuma lihat sedikit review film "12 menit untuk selamanya" diacara kick andy. memang begitu lihat obrolan mereka, aku langsung teringat masa2 waktu drumband dulu. memang sepertinya film itu benar2 menceritakan keadaan drumband, cerita kehidupan para personilnya. seru sih....

    BalasHapus
  2. sedikit ceritaku tentang pengalaman ke jogja mengikuti HB cup tahun 2003

    kami latihan yg bener2 dipersiapkan tuk mengikuti ajang ini sekitar 3 bulan. senin sampek sabtu setengah hari. trus hari minggu seharian. dan sekitar 2 minggu sebelum keberangkatan kami latihan dari pukul 7.30 pagi sampek pkl 11.00 malam. bener2 perjuangan yg melelahkan.
    pas keberangkatan, anda tau kami pergi ke jogja naik apa? ya, perjalanan yg jauh itu kami tempuh dgn bus langganan kami. namanya ATS. non AC. dan perjalanan yg kami tempuh adalah 5 hari 4 malam. bayangin aja...... b*kong puanassssssss..... badan rasanya?????
    sampek di jogja, kamipun menginap di hotel yg sangaaaaaat sederhana. yah mungkin karena ke sana tujuan kami adalah bertanding, bukan diundang, maka fasilitas pun yah untuk org yg akan ikut pertandingan deh.
    tapi memang semua itu berjalan begitu saja. suka duka tetap kami jalani.
    ketika sekarang saya tanya ke teman2 saya, "kenapa ya kok kita mau ikut keg spt itu???"
    ya, mereka menjawab krn hobby, banyak teman dan memang alasan2 anak2 drumband lah. gak ada yg jawb karena uang, krn kami memang tdk digaji. kami lakukan karena dulu memang suka. itu.

    sekian aja deh. ntar terlalu panjang gak seru.

    BalasHapus
  3. oh ya, sedikit lagi...... perasaan ketika melangkah ke lap mandala krida waktu bertanding............"""merinding""""
    kayaknya perasaan kita sama...... gak bisa diungkapkan.... namun cukup dibayangkan sendiri aja.
    sekian

    BalasHapus
  4. wowwww... seriusan dari gita sandhy putra? gimana kabar teman teman disana mas? kangeeeeennnn... aku dari bina remaja yang tampil sesudah gita sandhy putra... ga nyangka akhirnya bisa ketemu disini

    BalasHapus
  5. iya .. temen temen seperti ( kalo ga salah inget namanya) dodi, lola, puspa, dll juga cerita bagaimana perjalanan 5 hari kalian dengan bus dari langsa ke jogja... kita salut sama perjuangan kalian.. eh ayo dong add fbku.. kita sambung silaturahmi lagi mas ari...

    BalasHapus
  6. Salam kenal mas,,saya juga dari Gita Sandhy Putra,,cuma saya jauh di bawah mas ari dan mas dimas,,di GSP saya baru 9 thunan,,kalo boleh tau apa nama fb mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. halo nuruel seneng deh bisa ketemu temen dari langsa lagi... klik ajah badge di blog ini..itu fb ku

      Hapus