Minggu, 20 April 2014

go ahead

Wijaya kusuma almamaterku
Kau dilahirkan demi nusa bangsa
Wijaya kusuma dharma bhaktiku
Hanya untukmu daya cipta karsa
Pancasila jiwa dan semangatmu
Menyinari sepanjang masa
Wijaya kusuma almamaterku
Ya tuhanku, limpahkan ridhomu
Kami Putra putri indonesia
Penerus bangsa kharisma wijaya
Negarawan agung pengabdi bangsa
Pejuan jaya demi nusantara
Pancasila jiwa dan semnagatmu
Menyinari sepanjang massa
Wijaya kusuma almamaterku
Ya Tuhanku limpahkan Ridhomu

Hari ini tepat satu tahun aku secara resmi menjad alumni dari Uniersitas Wijaya Kusuma Surabaya. Kemarin 19 April 2014, aku bisa kembali merasakan moment wisuda. Tentu saja menyanyikan hymne wijaya kusuma yang liriknya kau tulis diatas. Keberadaan 12 orang mahasiswa asing yang akan perform dalam sebuah sakramen sacral (kalo boleh menyebut demikian) almamater s1 ku, Prosesi Raden Wijaya. Sebuah prosesi yang hanya ada di UWKS saja. eventitu yang membawaku gimana caranya bisa masuk ke ruang sidang terbuka senat. Sebagai alumni ane bangga banget gitu loh ngliat almamater dipake belajar ama bule bule itu.. hehehehe
Tepat satu tahun, hmm saya rasa saatnya untuk merefleksikan diri apa yang sudah saya perbuat. Bagi sebagian orang, mungkin saya sudah bisa dipandang. Namun bagi diri sendiri, saya tidak bisa mendefinikan stadart baku kata kata dipandang seperti apa. Saya masih terus berproses hingga kini. Meskipun proses tersebut acapkali membawa pada pertanyaan,’di dermaga mana petualangan akademismu ini akan berlabuh?’ seperti yang ditanyakan mantan boss yang sekarang seperti kakak sendiri, Emerensiana Jelita Rafael. Dan jawabannya adalah ‘embuh’. Aku sendiri juga tak tahu kapan petualangan akademis ini akan berakhir.
Agaknya deretan data statistic yang menyebutkan hanya 5% dari total 240 juta jiwa lebih penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi setara master, doctoral dan professor. Means negeri ini masih butuh lebih banyak lagi orang orang mumpuni (jika kata pintar terlalu menyombongkan diri) untuk membantu peradaban. Selain itu alasan 2015 sebagai ASEAN Economic Community juga turut memperkuat asumsi tersebut. Dan kalimat dari salah satu dosen ane di S1 yang lagi ambil doctoral dan berhasil menyelesaikan master di bidang computer tercepat (amiiinnn moga ane juga bisa seperti itu).’ Go forward untuk masalah pendidikan. Insya allah selalu ada jalan, meskipun kadang kita tak tahu darimana asal bala bantuan tersebut. Kultur orang kita, mereka rela ngutang untuk bisa membeli barang konsumtif dan terlihat wah, terlihat kaya di depan orang lain. namun untuk berinvestasi pada pendidikan mereka enggan melakukannya’.hmm agaknya benar juga kalimat si Bapak.
Pendidikan tingi bisa dibilang sebagai sebuah gerbang. Pendidikan memang tidak pernah menjanjikan kita tentang berapa besar materi yang akan kita dapat. Namun ilmu yang dimiliki akan membuat kita bisa berfikir lebih sistematis. Berfikir dan mengambil keputusan lebih cepat dan insya allah bijak karena sudah teriasa memertimbangkan banyaj factor. Esensi dari pendidikan dan berilmu bukan berapa besaran rupiah, melainkan kapabilitas seseorang. Ketika ia bisameraih suatu kapabilitas tersetntu, maka keuntungan secara finansial yang berujung pada wealth pun akan terjadi. Namun proses menuju kesana memang tidak mudah. Tertatih dan berdarah darah adalah suatu keharusan.
Baru saja aku melihat dvd dokumentasi prosesi wisudaku dulu. Ada salah satu bagian yang membuatku bangga pernah mengenyam pendidikan tinggi. Prosesi senat masuk ruangan. Aku melihat mereka sudah berusia lanjut tapi masih mau mengikuti sebuah prosesi panjang semacam ini. Hal itu pastilah karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan. Untuk bisa menjadi seperti sekarang, mereka pasti melalui jalan panjang akademis. Baik di dalam maupun di luar negeri. Maka dari itu, aku angkat topi bagi mereka yang mau meneruskan pendidikannya, dan mengamalkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi masyarakat pada umumnya.
Mereka, para guru besar yang sudah sepuh, akan digantikan oleh kita semua, para generasi muda. Pertanyaannya adalah apakah ara generasi muda sudah siap? Terlepas dari siap dan tidak, personally best appreciate bagi teman teman yang sedang menempuh pendidikan tinggi. Alias pendidian bonus. Mengapa? Mengutip kalimat salah satu kandidat doctor University Utara Malaysia Vitria Pawitrasari S.S, M.Pd, ‘ pendidikan s1 adalah hutang, hutang gelar kesarjanaan pada kedua orang tua yang sudah menyekolahkan kita dari usia dini hingga seakrang. Maka gelar itu harus ditangan sebagai pertanggungjawaban bagi kedua orang tua. Sedangkan Master dan dktoral adalah bonus yang boleh diberikan dan boleh juga tidak pada kedua orang tua.’ Well.. sebelum aku ngelantur lebih ga karu-karuan.. semangat buat semuanya yang sedang menempuh pendidikan tinggi. Bagi yang bisa mengenyam pendidikan tinggi di kampus terkemuka jangan terlalu pongah, melainkan fikirkanlah apa yang bisa kalian beri pada sekitar dengan fasilitas serba wah itu. Bagi mereka yang sedang menempuhnya di daerah, jangan berkecilhati, go for it. Anak daerah juga berhak untuk sukses bareng. Namun tetap ingat, dimanapun dan kemanapun kita pergi. Darah ini masih merah dan tulang jugamasih putih. So, tetaplah gelorakan merahputih dimanapun. Terlepas dari nationality yang mungkin sudah berubah dan factor factor lain. mari kita bersama berbuat demi Indonesia lebih baik.