Jumat, 31 Januari 2014

‘ 12 Menit Kemenangan Untuk selamanya ‘ memoar diri dalam Hamengkubuwono Marching Band Championship (HB Cup) 2003

Jam sudah menunjukkan hamper pukul 11 siang. Namun aku masih bertahan di salah satu kamar suite Meritus Hotel Surabaya. Aku masih dengan setia menemani keluarga mbak Ita packing sebelum kembali ke Jogja dengan penerbangan wings air siang itu juga. Aku sebenernya bisa saja pamit untuk pulang duluan. Namun aku sayang melewatkan moment diskusi yang terus berglir setiap detik dengan mbak Ita dan ibundanya, yang notabene salah satu scientist di UGM. Ga Cuma itu, kelucuan Arcelion, anaknya mbak Ita membuatku makin enggan untuk ninggalin hotel di bilangan Basuki Rachmad ini tadi siang. Padahal aku ada misi sediri. Apa itu.. jreng jrengggg.. nonton film ‘ 12 Menit Kemenangan Untuk selamanya yang bercerita tentang one of my beloved world , Marching Band.
Hamper jam 12 keluarga mbak Ita keluar hotel menuju bandara. Sedangkan aku langsung tancap gas ke Ciputra World. Jalanan lengang akibat libur imlek cukup memangkas waktu tempuh basra - mayjend sungkono yang normal pada siang hari bisa selama 20an mnit menjadi hanya 10menit saja. aku langsung lari naikke lantai puncak dan beli tiket. Masih ada waktu 5 menit sebelum film mulai ketika aku masuk ke studio.
******
Apa sih sebenernya yang membuat film ini begitu menarik sampai harus bela belain datang ke ciputra world? Jawabannya adalah ambience dari Marching Band. Itu yang membuatku kesana. Film ini bercerita tentang perjuangan sebuah tim bernama PKT Bontang, untuk bisa ikut bertanding dalam GPMB ( Grand Prix Marching Band) sebagai lambing supremasi tertinggi perlombaan marching band negeri ini. Film ini bercerita bagaimana proses latihan ribuan jam yang harus dilalui oleh para anggota marching band. Baik latihan penguasaan alat maupun display. Sejumlah konflik juga digambarkan dengan cukup clear. Minimal sama dengan situasi dilapangan. Mulai dari kedisiplinan anggota, permasalahan antar anggota baik, like and dislike, pertentangan antara pelatih yang idealis dengan manager tim yang cenderung bermain aman namun banyak menuntut, anggota yang dilarang ikut kegiatan ini oleh kedua orang tuanya karena dianggap tidak berguna bagi masa depan, konflik yang berkecamuk dalam diri pemain, emosi untuk menjadi yang terbaik, hingga ketatnya sebuah kompetisi marching band.
Aku benar benar terbawa dalam alur film tersebut. Pada bagian pertama film ini membawa ingatanku melayang ke beberapa tahun silam ketika harus mempersiapkan diri dalam salah satu ajang lomba marching band tingkat nasional, hamengkubuwono marching band championship di Jogjakarta. Bagian awal tersebut menceritakan bagaimana kerasnya latihan yang harus dilalui oleh pemain. Film ini memvisualkan cukup baik bagaimana pemain melakukan kesalahan yang disebabkan anggota didekatnya yang seharusnya menjadi Patokan tidak ada. Anganku melayang saat mas Aziz dan mbak Nggona melatih kami dengan semangat kala itu. Mereka terus meminta kami untuk kompak, mengingatkan untuk berekspresi dan sebagainya.
Adegan latihan lainnya adalah TC (training Centre) sebuah proses yang harus dilalui oleh seluruh pemain. Dimana mereka harus berlatih selama 14 jam sehari. Aku pun juga mengalaminya. Kami mulai latihan jam 7 pagi dan baru selesai jam 7 atau 8 malam setiap hari minggu selama 4 bulan. Selain latihan TC, kami juga harus ikut latihan penguasaan alat tiga kali seminggu dari jam 3 – 6 sore, dan latihan display juga 3x seminggu jam 3-6 sore pula. Praktis 7 hari seminggu saat itu aku ada di gudang. Nama yang kami berikan untuk secretariat Marching Band Bina Remaja. Intensitas ini terus meningkat hingga mendekati keberangkatan.
Berbicara soal latihan, ada salah satu adegan ketika sang ealyn mendapatkan persyaratan dari sang ayah untuk mendapatkan nilai pelajaran 95 baru diijinkan main marching band. Seolah mendapatkan tantangan, dia intens ikut latihan, dia ikuti semua tahapan yang demikian keras, dan segera pulang ke rumah setelah selesai. Selanjutnya berbekal semangat dan passionnya di dunia marching band, di rumah dia belajar hingga larut malam untuk mengejar target dari sang ayah. Akhirnya itu membuahkan hasil indah ketika dia terpilih untuk mengikuti olimpiade fisiki mewakili sekolahnya.
Ketika seseorang memutuskan untuk aktif di marching band ketika masih sekolah, pasti akan menghadapi maslaah ini. Kekuatan fisik saja tidak cukup, melainkan mental dan motivasi untuk belajar menjadi dominan disini. Ritme latihan yang demikian tinggi terkadang membuat siswa lelah duluan sebelum sempat belajar. Sehingga akademik mereka jeblok. Aku juga merasakan bagaimana beratnya mempertahankan nilai akademik tetap berada di jajaran diperhitungkan kala itu. Hal terberat adalah ketika saya harus menghadapi ulangan pada hari senin, sementara pada minggu, sepanjang hari saya berpanasan di lapangan untuk latihan display. Saya tidak munafik dan berkata tidak lelah, saya lelah secara fisik, bahkan kadang, saya tertidur pulas didepan tumpukan buku. Namun semangat untuk tetap mempertahankan prestasi, membuat saya bangun lebih awal tiap pagi dan belajar. Dalam fase ini musuh utama adalah diri sendiri. Seberapa kuat mampu untuk tegas pada diri sendiri guna menunda kantuk dan lelah serta tidak menjadi sosok yang cengeng. Marching band mengajarkan saya hal itu. Ia mengajarkan saya bagaimana caranya agar dapat membagi waktu, tetap focus pada tujuan hidup, focus pada mimpi besar dan sebagainya. Finally saya masih bisa mempertahankan gelar 6 besar di kelas selama 3 tahun berturut turut kala itu ditengah, mohon maaf terjun bebasnya prestasi akademik rekan rekan saya.
Marching band juga mengajarkan saya konsistensi dan persahabatan. Betapa tidak, ritme latihan yang demikian keras kadang menjemukan. Terlebih ketika kami harus mengulangi formasi yang sama, ataupun mengulang not yang sama berulang ulang. Untuk mengisi kejenuhan ini celetukan dan guyonan guyonan spontan cukup menyegarkan suasana kala itu. Ini pula yangmenyebabkan adanya kedekatan diantara kami semua.
Dalam marching band, persahabatan sebenernya bukan saja terbangun sesame rekan dalam satu tim. Ketika sebuah tim tampil di ajang perlombaan besar, maka persahabatan itu juga muncul antar tim dari berbagai daerah. Mereka disatukan atas nama pemain marching band. Group yang digambarkan dalam film ini adalah PKT Bontang. Imagiku langsung beralih ke tahun 2002. Satuanku pernah head to head dengan mereka di Kejurda Jatim dan Jatim Open Tournament di Surabaya. Setelah elomba itu kami masih intens komunikasi. Persahabatan lain yang terbentuk saat itu adalah antara Bina Remaja dengan Gita Sandi Putra langsa, Telkom Langsa NAD. Kami masih terus komunikasi hingga bencana tsunami menerjang aceh. Sejak saat itu hingga hari ini kami benar benar lost contact. Personally saya masih bisaberharab bertemu kembali dengan mereka semua sih. Hehehehe…
Fase latihan tersulit adalah belajar lagu dan koreo baru. Belajar membaca not per alat. Kami harus memiliki penguasaan pada alat dan lagu. Kadang kami harus menghitung jeda yang cukup lama dengan langkah kaki. Konsentrasi sangat dibutuhkan disini ketika latihan per alat itu. Karena ketika kami semua dikombinasikan, akan sangat mudah menandai di bagian mana kita harus bunyai dan mana yang diam.
Film ini juga menunjukkan, selalu ada air mata yang tertumpah jelang keberangkatan. Jika di film ini digambarkan airmata yang menimpa beberapa anggota, namun saat kami dulu, tangisan itu muncul secara bersamaan. Tingkat stress yang cukup tinggi membuat tensi sering naik termasuk pelatih. Kami semua berkumpul dan mengevaluasi diri bersama. Saat itulah ada adegan menangis jamaah dan berjanji akan melakukan yang terbaik. Tangis jamaah itu seolah menjadi titik puncak lelah kami selama itu. Karena setelahnya kami berusaha tampil maksimal.
Filosofi yang diambil dari 12 menit kemenangan untuk selamanya adalah para anggota marching band berlatih selama ribuan jam, membaca beratus kali not, berlatih koreo siang dan malam, demi 12 menit yang sangat menentukan. 12 menit yang menjadi puncak latihan berat tersebut. Hanya 12 menit untuk menunjukkan semuanya kepada dunia. karena hasil latihan mereka akan ditampilkan, dinilai, dan diapresiasi dengan durasi tak lebih dari 12 menit performance. 12 menit ini pula yang akan membekas menjadi sebuah kenangan sepanjang masa dalam hidup seluruh anggota. Karena setelah 12 menit itu, mereka mungkin tidak akan pernah lagi berlatih koreo yang sama, lagu yang sama bahkan bermain dengan tim yang sama.
Detik detik menegangkan yang dihadapi oleh semua pemain marching band dimanapun dia berada digambarkan cukup baik dalam film ini. Ketika adegan di ruang tunggu, saya kembali merasakan gimana kami berdiri di depan pintu utara mandala krida menunggu giliran masuk ruangan. Seketika itu pula, 12 menit sebelum masuk, kami merapatkan barisan. Membentuk lingkaran, berdoa bersama. Sama seperti yang dilakukan tim PKT sebelum masuk istora di film tersebut. Jantung ini makin berdegub ketika terdengar suara ‘ yuk pintu siap dibuka ya’. Begitupintu terbuka, dengan bangga kami masuk ke dalam stadion mandala krida, diiringi tepukan penonton. Aku masih bisa merasakan hingga hari ini bagaiaman kami berjalan, detik detik warming up, dan tentunya kalimat ‘ for the judge are you ready?’ dimana juri utama saat itu adalah Jim Casella dari Santa Clara vanguard and dribble band Amerika Serikat. Sebuah kehormatan bagi kami yang tim dari kampung ini, dinilai langsung oleh expert dari amerika. Hanya satu yang ada di pikiran kami saat itu, menunjukkan yang terbaik. 12 menit itu pun akhirnya berlalu, sayangnya, 12 menit kami saat itu harus ditutup dengan ambruknya Asri bersama basdrum yang dibawa. Ya.. asri pingsan bersamaan dengan pasukan dihentikan oleh gitapati. Sampai saat ini, masih teringat jelas bagaimana sisca dan weni sang duet terompet menangis haru karena diapresiasi oleh penonton di mandala krida. Bahkan sisca membutuhkan waktu yang sangat lama untuk berhenti. Teringat pula bagaimana wina sang solo dancer histeris tidak percaya dia telah tampil. Namun dibalik euphoria tersebut, ami masih terus cemas pada kondisi Asri. Tawapun kembali pecah ketika kami melihatnya jalan sambil dirangkul. Ya teman kami kembali. Ini sama seperti kembalinya eavlyn dalam film ini.
Saat yang tak kalah menengangkan dan mengharukan ketika kami harus berdefile upacara penutupan. Jantung ini makin berdebar kencang ketika gelarjuara disebutkan. tawa, dan tangis kembali pecah ketika panitia mengumumkan kami meraih juara dua kala itu. Sesuatu yang benar benar sangat membanggakan. Meski bukan menjadi juara 1, namun saya bangga, 12 menit itu telah berhasil kami lalui dengan baik. 12 menit yang mendebarkan, dan menegangkan. 12 menit yang memang akan dikenang selamanya.
******
Banyak orang beranggapan bahwa marching band hanya hura hura. Ada juga yang beranggapan buat apa ikut marching band,Cuma dapat capek dan ga dapat duit, kalimat satir lain adalah marching band Cuma memperalat kita untuk memperkaya owner dari organisasi tersebut, bahkan parahnya ada yan bilang marching band merupakan wujud exploitasi sumber daya manusia. Apa yang saya tuliskan ini setidaknya fakta yang seringkali terjadi dilapangan. Terutama ini diucapkan oleh mereka yang tidak puas dengan cara melatih, cara kerja, tidak siap akan tekanan dan sebagainya. Ketika saya masih berada dalam organisasi ini, mungkin saya juga akan berfikir demikian, terlebih ketika banyak orang mempertanyakan keberadaannya dengan sudut pandang rupiah.
Namun kini, setelah saya melewati fase itu, saya bisa menyimpulkan, kami memang tidak pernah mendapat rupiah, mungkin kami memang diexploitasi, mungkin kami memang memperkaya owner. Namun ada yang terlupa, kami bukan hanya bermain musik. karena disini kami ditempa, kami belajar bagaimana caranya konsisten. Kami belajar memahami satu sama lain dan mengesampingkan ego, kami belajar bagaimana bersosialisasi dan berteman, kami belajar berelasi dengan banyak orang termasuk mereka yang diluar provinsi, kami memang menjadi hitam legam, namun kami memiliki tumpuan kuat di kaki yang kelak akan menopang diri ini. Kami memiliki tangan yang kuat sebagai representasi latihan membawa alat music yang kelak akan kami gunakan lebih sering untuk bekerja. Kami memiliki otak yang sudah terbiasa membagi konsentrasi yang kelak akan digunakan ketika harus multitasking di dunia kerja. Mungkin kami memang hanya menyanyi, namun sebenernya kami menyanyikan simfoni kehidupan dimasa yang akan datang. Mengutip kalimat terakhir Titi Rajo Bintang pada manager tim yang mengabarkan ayah Lahang meninggal beberapa menit sebelum lomba dimulai,’ Biarkan Lahang tetap disini, dia tidak akan mendapat apa apa ketika meninggalkan semua sekarang. biarkan dia bisa membawa pulang susuatu yang membuatnya terkenang. Sesuatu yang membanggakan, ‘ ya 12 menit tersebut memang benar benar membanggakan. saya bangga pernah menjadi bagian dari Marching band.. karena I march in every step and my blood…


Kamis, 30 Januari 2014

Putri Indonesia Jawa Timur menuju dunia : Sebatas symbol atau Pembawa perubahan?

Malam ini masih lelah rasanya setelah tugas ke beberapa kawasan di Jawa Timur. Begitu nonton tv eh ada pemilihan Putri Indonesia. jujur tahun ini berbeda dengan sebelumnya. Aku memang sudah tidak terlalu mengikuti perkembangan kontes putri putrian macam gini. Udah ga ada waktu buat ngurusi beginian. Satu satunya resourceku tentang hal ini ya dari salah satu temen SMAku Achmad Ansori a.k.a Vargaz Achmad kalo ga salah nama account socmednya. Dia keranjingan banget sama kontes putri-putrian maupun putra putraan…
okay back to topic. Tahun ini Putri Indonesia berasal dari Jawa Timur. Sudah jadi rahasis umum memang, terutama dikalangan teman teman model, kalau kontes seperti ini diikuti oleh banyak kalangan. Tidak saja dari propinsi yang sama. Mereka yang berasal dari propinsi lain namun masih memiliki korelasi dengan provinsi tersebut bisa mendaftar. Lets say salah satu putri Indoensia yang berasal dari Jawa Tengah beberapa tahun lalu ( dia justru banyak menghabiskan waktu di Jakarta daripada di Jateng sendiri. Konon dia memilih jateng karena leluhurnya darisana). Namun memang sih masih ada juga putri Indonesia yang memang pure berasal dari provinsi itu sendiri. Contoh kasus nih Putri Raemawasti yang asli Blitar dan kuliah di ITS (sic: kalo ga salah inget.. hehehehe), dia jadi Putri Indonesia kala itu dan mewakili Indonesia ke ajang Miss Universe juga kok.
Melihat Putri Jawa Timur menjadi Putri Indonesia, muncul pertanyaan di kepalaku, bagaimana dia bisa berperan untuk turut memajukan Jawa Timur? Loh ngapain kok Jawa Timur? Indonesia dong, kanPutri Indonesia. iya memang dia sudah menjadi PI, saya sangat sadar kalau dia terhitung beberapa menit lalu ( tulisan ini dibuat langsung ketika acara grand final PPI berakhir) dia resmi menjadi milik bangsa Indonesia. tapi gimanapun juga kan dia membawa nama Jawa Timur sebagai dapil ( meminjam istilah para caleg dengan kata dapil : daerah pemilihan). Sudah seharusnya dia bertanggungjawab untuk turut mengembangkan provinsi ini juga.
Jawa Timur memang memiliki kualitas kesejahteraan yang tinggi, pertumbuhan ekonominya udah diatas rata rata nasional. Tapi jangan salah, disparitas di wilayah ini masih terjadi. Banyak PR yang hasrus dikerjakan. Dengan membawa nama Jawa Timur, maka otomatis dia juga bertanggungjawab bukan saja untuk menunjukkan behave sebagai putri melalui sikap dan perilaku saja, namun lebih dari itu, dia juga otomatis harus ikut memajukan provinsi ini dengan cara apapun. Lah tapi kan dia pasti punya jadwal padat Mas, gimana bangunnya? Ikut membangun Jawa Timur bukan melulu harus berada di provinsi ini terus. Namun turut memberikan sumbang sih pemikiran, tenaga, akses, lobi dan apapun yang dimiliki untuk kemajuan Jawa timur.
Lets say potensi Jawa Timur yang demikian besar. Batik salah satunya, 30an dari 38 kabupaten kota di provinsi ini memiliki motifnya masing masing. Wisata juga ga kalah lho dibanding Bali. Bahkan dikawasan pantai selatan jawa memiliki banyak sekali objek menakjubkan. Seperti beberapa pantai yang ditemukan oleh teman teman PACIWISTU ( sebuah organisasi yang pecinta wisata Tulungagung ).
Putri Indonesia juga memiliki sejumlah misi social. Ada banyak sekali agenda yang bisa dia angkat berdasarkan kondisi di masyarakat Jawa Timur. Masalah gender dan pendidikan misalnya, masih banyak masyarakat di Jawa Timur yang menganggap pendidikan untuk wanita itu tidak penting. Fenomena menikahkan anak di usia dini juga banyak. Jujur beberapa teman sudah menikah bahkan ketika masih di bangku SMA. Terlepas dari bagaiamana status social meraka, hal ini menunjukkan bahwa di provinsi ini pro gender harus dilakukan. Bukankah PI juga focus disini? Pemberantasan buta huruf juga bisa dilakukan disini. Isu ini bisa diangkat untuk ditindak lanjuti, bukan sekedar dikunjungi dan sebagai ajang foto foto seperti yang biasa dilakukan para putri tersebut. Mengawal perubahan social di masyarakat perlu untuk dikawal. Sebagai orang yang memiliki akses, rasanya tidak terlalu muluk mengantungkan asa ini kepadanya. Paling tidak, ketika courtesy call dengan para petingi negeri ini, dia bisa bercerita tentang kondisi real disini.
sebagai putri Jawa Timur, harus bisa mengubah paradigm masyarakat bahwa Putri semacam itu hanya akan mendatangi untuk show off. dia harus bisa menjadi motor penggerak kegiatan social di Jawa Timur. Banyak kawasan yang masih butuh sentuhan orang dari luar di provinsi ini. Pun itu tidak termasuk prokernya, dia kan bisa merangkul teman temannya alumni Pemilihan Putri Indonesia Jawa Timur, dimana orang orang itu mayoritas berisi para duta wisata dan sebagainya. Dia bisa daja membuat movement tersebut di masyarakat Jawa Timur. Bagaimanapun juga sebagai Putri Indonesia yang membawa nama Jawa Timur sebagai dapilnya, tanggung jawab morak berupa feedback positif bagi masyarakat harus bisa dirasakan. Jangan seperti para wakil rakyat asal jatim yang beberapa diantaranya lupa atau malah hanya mendekat ke konstituen sebelum pemilihan. Pemahaman akan keJawa Timurannya harus ada.
Mungkin sejumlah pembaca akan menilai ini terlalu utopians, sebenarnya tidak, ini bisa dilakukan. Anggap saja tulisan ini sebagai ungkapan ‘mengingatkan’ dari salah satu masyarakat Jawa Timur, yang nama daerahnya dipakai untuk pemenangan putri Indoensia. Senang pasti, mendukung jelas iya, namun mengingatkan harus dilakukan agar dia tidak terlalu terhanyur dalam euphoria kemenangan dan persiapan Miss Universe dan melupakan dari provinsi mana dia berasal.

Senin, 20 Januari 2014

Jogjakarta sebuah kota penuh cerita : CAS ( Catatan Akhir Semesteer ) mahasiswa pascasarjana UGM

yogyakarta... sebuah kota penuh cerita.. ga terasa hari ini resmi aku mengakhiri study

semester ini di jogja. kota yang senantiasa aku tinggalkan di hari kamis, dan kudatangi pada

senin dini hari.

kalo kata siti nur haliza, 'begitu banyak cerita, ada suka ada duka..' eitzz tapi kelanjutan

liriknya bukan buat konsumsi umum yaaa.. hehehehe... yup memang benar.. ada banyak cerita

selama satu semester ini. aku juga bertemu dengan orang orang yang katanya ebiet ' sebatas

angan'..

ada duka disini. mungkin bukan sebuah duka yang mengharubiru, namun sebuah duka bernama

mengalah pada keadaan untuk menang. situasi transisi yang sulit dalam kehidupanku.

meninggalkan sebuah kehidupan lama di kota pahlawan dan memulainya yang baru. meski bukan

total baru. kenapa? karena aku hanya membagi diriku kaya amoeba yang membelah diri, untuk

hidup di dua kota jogja dan surabaya. berat memang diawal, tapi bisa dibilang indah ketika

kita bisa menikmati setiap fragmen kehidupan tersebut. kota ini telah sukses membuatku

sedikit lebih mendengar, sedikit lebih melihat, dan sedikit lebih merasakan. perjuangan yang

sebenarnya terjadi disni. bukan hanya versi cerita dari buku buku motivator ataupun versi

novel yang sering aku baca dikala rehat

ada moment, ta benar, banyak sekali moment disini. salah satunya adalah nekad bolos kuliah

hehehee.. demin merasakan 'ambience', seperti yang berulang kali dibilang mak eka maria ulfa.

bersamanya kami nekad nyewa motor demi sebuah kesakralan budaya jawa bernama dhaup ageng

sultan mantu. aku, benar benar menjadi orang biasa. jika dulu aku bisa saja ikut dengan

mengandalkan karu sakti, namun disini, aku benar benar berbaur dengan warga jogja. aku

melihat dimana budaya masih sangat erat dijunjung disini. aku melihat sebuah kebanggan dari

orang jelata karena sang suami mengabdikan diri pada keraon. ekspresinya sungguh tulus ketika

berulang kali si ibu menjelaskan pada kami semua yang notabene bukan warga asli tentang

budaya jogja.

ada persahabatan, ya.. disinilah saya menemukan teman. para penyamun dengan keunikan masing

masing. Intan Suryaningtyas Zakiah, Aulia Basuki, Tommy Erawan, Densa Siregar dan si aceh

fiandy mauliansyah. berawal dari makan siang bareng, saya menemukan keakraban disini.

keakraban sebuah pertemanan yang sayapun sudah lupa kapan terakhir merasakannya. memang saya

punya teman teman devata balinesia di surabaya, namun yang saya rasakan lebih dari itu.

merekalah yang membuat saya merasa kesepian ketika terpisah dan harus pulang ke surabaya.

mereka mengajarkan saya ga enaknya berpisah dengan teman. hmmmm.... rasanya kok koyo melasmen

yo uripku sebelumnya hahahaha... jujur rasanya berat meninggalkan kelima makhluk ajaib

tersebut untuk pulang dan menjalani libur serta tugas di depan mata

ada ilmu, ya benar, saya benar benar belajar bagaimana mencari ilmu yang benar. yang jelas,

disini syaa jadi rajin kuliah, meski kadang telat sih, terutama pas senin karena dini hari

baru sampe dan pagi kuliah, atau telat di hari selasa karena harus masuk pagiiiiii

benerrrrr... hahahaha... saya jadi tahu banyak tentang pentingnya pendidikan tinggi, ga cuma

itu, saya benar benar tahu bagaimana memanfaatan ffasilitas belajar. dan yang terpenting,

saya tahu rasanya takut ama dosen. hahahahaha.... maaph yah pak budosen saya dulu... saya

terlalu menganggap anda sebagai teman main sih... seperti pas bimbingan TA, kalo bukan gue,

ga bakal ada lagi deh yang bimbingan selama 4 jam dimana bimbingannya cuma 30 menit sisanya

ngobroooollll panjang kali lebar kali tinggi ama dosen pembimbing.. hehehehe

bertemu dengan yang sebatas angan... ya benar. dulu saya hanya bisa berinterkasi dengan

expertise hanya sebatas pada hubungan jurnalis dan narasumber. tapi kini saya benar benar

bisa beertemu dengan sosok sosok wow. saya juga diajar dengan bukan orang biasa. sebut saja

founder LSI- mas Dodi Ambardi P.hD, doktor yang luhmanian sekaligus seseorang yang paling

bikin saya penasaran padanya bahkan sebelum diterima di komunikasi UGM DR, Phil Hermin Indah

Wahyuni, terus ada mbak Rahayu, seseorang yang saya salut dengan perjuangannya dari kota

kecil bernama tulungagung menuju dunia. saya salut karena memang beliau asli sana. dari segi

mahasiswanya saya benar benar berada ditengah bukan orang biasa, bahkan benar benar calon

pemimpin masa depan negeri ini. eka maria ulfa sang wapemred suara pasuruan, mbak Condrodewi

Puspita dengan pengalamannya, mbak Ina Ratriana yang jago statistik, mbak Isma sang humas

pemkot jogja, mbak andry dan mas febry kominfo mungkin merekalah sosok pembawa pencerahan

tentang information society di Indonesia kelak. sastrawan keren kang Abid yang benar benar

membawa jambi mendunia.

ada jurnalis. nah ini yang sampe sekarang ane gagal paham. pulau jawa ini cukup luas, namun

disini saya bener bener dipertemukan dengan orang orang yang terlinked dengan kehidupan

profesional saya. demi apah coba para broadcaster surabaya berkumpul di kota bernama jogja di

waktu yang nyaris bersamaan, eka maria ulfa eks, Randie Kastanya, Yuki Aditya eks Suara

Surabaya, ane eks Elshinta, terus Nana Prayogo eks Trijaya. ini masih bikin gagal paham.. ga

cuma itu disini juga ada dua orang jurnalis lain, lats say bang satria sang kepala suku, eks

trijaya yang sekarang di humas UGM dan lutfi luberto eks RRI pro 3 Jakarta hahahaha...

ooopppsss the last but not least... ada keluarga juga disini, dua orang yang ebenr bener udah

jadi keluarga baruku. Yona Septiani dan Amirul Hakim. merekalah tempatku datang saat laper,

tempat berkeluh kesah saat susah, dan tempatku jahil saat stress... hehehehe...

sekarang 00.05 saat tulisan ini selesai dibikin. bentar lagi keretaku datang. welcmoe

world... aku akan kembali ke kehidupan lamaku sejenak, tapi kalian semua dan pengalaman ini

masih