Selasa, 19 November 2013

Ring Of Fire : Indonesia dalam Lingkaran Api dan Representasi keIndonesiaan

November 19, 2013 at 10:23pm

Berbicara tentang Ring of Fire, awalnya saya mengira buku ini adalah rangkuman perjalanan keluarga Youk Tanzil dengan judul yang sama. Namun sayangnya asumsi saya salah. Buku ring of fire ini bercerita tentang sebuah perjalanan oleh dua orang kakak beradik dari Inggris, Lawrence dan Lorne Blair yang ditulis oleh Lawrence. Buku ini diberikan sebagai salah satu contoh penelitian etnografi. dalam melakukannya etnografer membutuhkan sebuah keberanian dalam memulai, kesabaran selama meneliti dan konsistensi dalam mencatat maupun melakukan banyak dokumentasi. Selain tentu saja dasar teori tentang permasalahan yang akan di gali. Perjalanan Blair bersaudara selama 10 tahun cukup merepresentasikan itu semua. Bahkan kita dapat merasakan bagaimana kontruksi kaku ala eropa di awal buku ini berubah menjadi lebih fleksibel setelah berbilang tahun mereka lalui untuk mendedah Indonesia. kita dapat merasakan kalau mereka dapat menerima segala kearifan lokal di akhir buku ini. Buku Ring of Fire ini dibagi dalam dua urutan waktu berbeda.



Fase pertama blair bersaudara melakukan perjalanan dari Inggris untuk mencari jejak cendrawasih Kuning Besar ke Nugini Barat (Sekarang Papua) yang amat terkenal di eropa. Cendrawasih Kuning besar sendiri dianggap sebuah species unik sebagai simbol keberanian. pasalnya pencarian burung ini tidaklah mudah. perjalanan mereka diinspirasi dari buku Malay Archipelago karya Walace. Sehingga Keduanya mengawali perjalanan dengan menjejak jalur dan cara walace dalam bukunya saat itu the Malay Archipelago. Seperti kita ketahui Walace merupakan seorang tokoh yang dikenal melakukan pembedaan flora dan fauna antara Indonesia tengah dan timur. Blair bersaudara ingin merasakan pengalaman Walace saat itu ketika mulai menjelajahi Nusantara. ada banyak sekali peristiwa yang mereka lalui sejak mendarat di Indonesia, mulai persiapan perjalanan dalam hal ini mencari pinisi, melakukan perjalanan, menemukan cenderawasih kuning besar, keluarnya mereka dari Indonesia secara 'ilegal, hingga bagaimana penelitian ini nyaris saya melibatkan otorita pemerintah dua negara. mereka juga sempat menjadi saksi dalam sejumlah peristiwa seperti, prosesi pemakaman ala Toraja, Berburu Boa di Bira, Berlayar bersama dengan orang orang Bugis yang terkenal sebagai pelaut tangguh, mendapatkan banyak penyambutan di pulau yang disinggahi, terbius oleh keindahan laut di kawasan Indonesia Timur dan sebagainya.



Fase kedua merupakan perjalanan mereka kembali ke Indonesia berbilang tahun pasca pencarian itu. kali ini mereka berkesempatan untuk kembali ke Indonesia dengan berbagai proyek penelitian baru, pembuatan film, hingga menjadi guide bagi wisatawan eropa yang sengaja datang dengan kapal pesiar guna melihat secara langsung kehidupan primitif di Indonesia. dalam fase kedua kedatangannya mereka mendapatkan penalaman yang lebih beragam tentang suku asmat dimana mereka pernah tinggal bersama. tidak hanya itu, dengan tinggal Bersama suku Asmat ini mereka menemukan sebuah fakta sejarah yang tertutup tabir misteri selama ini, tentang terbunuhnya anak mantan wakil presiden amerika di sana berbilang tahun sebelum mereka tiba. mereka pun dapat menemukan sebab dan bagaimana anak itu terbunuh. perjalanan lainnya adalah ketika mereka melakukan ekspedisi komodo, ekspedisi kuda sandel di sumba, hingga ekspedisi mencari kehidupan dayak punan yang masih nomaden di Kalimantan yang keberadaannya dibantah oleh otoritapemerintah setempat. melalui fase kedua ini mereka memiliki pengalaman yang lebih beragam dari sebelumnya. fase kedua kedatangan mereka erat kaitannya dengan hal hal berbau mistis. seperti bagaimana para pengayau di berbagai tempat hidup, bagaimana prosesi pengorbanan yang dimunculkan sebagai media untuk berkomunikasi dengan penguasa alam semesta dan sebagainya. sepertinya mereka dan mungkin orang barat lain sangat tertarik dengan situasi seperti ini.



Secara umum buku ini enak untuk dibaca dan dinikmati. Meskipun hingga kini saya masih suka bertanya mengapa menggunakan judul Ring of Fire : Indonesia dalam Lingkaran Api, Padahal cerita mereka sama sekali tidak ada snagkut pautnya dengan posisi Indonesia sebagai negara yang berada dalam cincin api pasifik. Cara menyajikan data ala catatan perjalanan membuat buku ini makin mudah dipahami. Terkadang kita akan terhanyut dengan kisah didalamnya. Namun ada kalanya kita memberikan penolakan atas kosntruksi berfikir mereka. Hal ini cukup beralasan ketika kita melihat mereka berasal dari negara Eropa dan Amerika yang notabene lebih maju dari Indonesia. terkadang bagi kita hal itu akan sangat wajar, namun bagi mereka tidak. terkadang cara bercerita mereka sangat barat, namun melihat sesuatu yang sangat indonesia. ketika saya sedikit usil membandingkan buku ini dengan tulisan Prof Merlyna Lim tentang Ambon akan sangat terasa bedanya. Larence cenderung akan langsung melontarkan begitu saja dengan kosntruksi berfikir ala Barat, sedangkan Prof Merlyna Lim, sebagai orang Indonesia, akan cenderung memberikan penjelasan singkat dengan pendekatan ke Indonesiaan. membaca buku ini pula saya menjadi sadar betapa budaya literasi di Indonesia masih sangat minim. melalui buku ini pula saya memahami makna statement yang dilontarkan oleh Prof. Krisna Sen dari Australia National University yang diamini oleh Prof Merlyna Lim dalam sesi Keynote speaker IndoICC akhir tahun lalu di Balai Irung yang mempertanyakan mengapa tulisan tentang Indonesia harus di kontruksi oleh orang asing yang mengerti sedikit sekali tentang Indonesia. Ring of Fire ini sedikit banyak membuka mata saya bahwa terkadang sebagai penduduk Indonesia, saya tidak lebih mengerti tentang Indonesia dibandingkan mereka yang ada di luar. lantas hauskah kita menyalahkan? tentu saja tidak, justru inilah cambuk bagi kita untuk berbuat lebih baik dan memotret negeri dari berbagai macam pesrspektif.